Posdaya "UMK" Entaskan Kemiskinan

Akhir bulan ini, apabila tidak ada aral melintang, Rektor Universitas Pancasila Jakarta, Prof Dr Edie Toek Hendratno SH MSi, dan pimpinan Lembaga Penelitian Masyarakat (LPM) Ir Iha Haryani SE MM, akan menggelar pameran keberhasilan universitas tersebut di Jagakarsa dan Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Kegiatan tersebut akan melibatkan 65 posdaya (pos pemberdayaan keluarga) binaan Universitas Pancasila yang bergerak dalam bidang sosial, seperti pengembangan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), pendidikan untuk anak remaja, kegiatan ekonomi mikro dan kecil serta pemeliharaan lingkungan melalui program “Kebun Bergizi” di sekitar rumah. Gelar posdaya itu akan melibatkan kesertaan para pengusaha yang perusahaannya ikut mengisi kegiatan posdaya dalam bidang kesehatan sekaligus sebagai dukungan pengentasan kemiskinan melalui usaha mikro dan kecil (UMK).

Seperti diketahui, posdaya adalah forum silaturahmi dan penggerak pemberdayaan oleh kalangan keluarga dan masyarakat secara mandiri. Posdaya yang dibentuk oleh para dosen dan mahasiswa Universitas Pancasila, akhir-akhir ini telah berhasil menarik minat masyarakat dan sponsor. Beberapa perusahaan dengan kesadaran tinggi terlibat untuk sekadar berbagi dana corporate social responsibility (CSR) mereka untuk mengisi kegiatan posdaya di pedesaan.

Posdaya yang dibentuk di Jakarta Selatan umumnya menjadi pelaksana dari upaya pemerintah yang dicanangkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 3 Tahun 2010 tentang pembangunan yang berkeadilan. Upaya tersebut menyangkut tiga program yang sangat penting, yaitu pembangunan pro rakyat yang mengarahkan upaya penanggulangan kemiskinan berbasis keluarga, berbasis pemberdayaan masyarakat dan, pemberdayaan ekonomi mikro dan kecil. Inpres itu juga menggariskan pentingnya upaya pembangunan berkeadilan yang ditujukan untuk anak, kaum perempuan, ketenagakerjaan, hukum dan reformasi hukum, fokus penanganan keluarga miskin dan keluarga yang terpinggirkan.

Oleh karena itu, LPM Universitas Pancasila bersama para mahasiswa yang berminat dalam kuliah kerja nyata (KKN) tematik posdaya telah membentuk 30 posdaya di enam kelurahan di Kecamatan Jagakarsa. Ketiga puluh posdaya yang menjadi percontohan untuk pengembangan posdaya lainnya itu ada yang berasal dari posyandu yang telah berjalan dengan baik, ada pula yang semula merupakan kelompok masyarakat yang rajin arisan di kampungnya, kelompok yang semula mengelola Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), dan ada yang berasal dari kelompok yang bergerak dalam kegiatan P2K atau kegiatan ekonomi keluarga.

Pada umumnya kelompok yang melakukan kegiatan dalam bidang ekonomi mikro tersebut lebih mudah dikembangkan menjadi kelompok posdaya yang dihubungkan pada kegiatan CSR dari perusahaan yang memberi sumbangan untuk ekonomi mikro dan kecil. Pengembangan posdaya yang berasal dari berbagai kelompok tersebut tidak menghalangi upaya melengkapi kegiatan posdaya yang utamanya bergerak dalam peningkatan index pembangunan manusia (IPM) atau upaya penyelesaian sasaran dan target MDGs.

Di Kelurahan Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Universitas Pancasila dan LPM telah membentuk 35 posdaya. Dari beberapa posdaya yang dibentuk tersebut tidak seluruhnya berbasis poyandu yang telah ada, tetapi, seperti di Kelurahan Jagakarsa, ada Posdaya yang asalnya dari kelompok yang kegiatannya sangat bervariasi. Di kelurahan tersebut, seperti di beberapa kelurahan lainnya, tidak sedikit posyandu yang tidak lagi melakukan kegiatan rutin. Karena posdaya mengharuskan penanganan kesehatan, keluarga berencana (KB) dan pemeliharaan kesehatan anak bawah lima tahun (balita), maka pengurus posdaya menganjurkan agar posyandu dihidupkan atau disegarkan kembali.

Tidak jarang pengurus posdaya bekerja keras mencari sponsor sebagai sumbangan berupa makanan bergizi untuk kegiatan posyandu secara rutin untuk anak-anak yang datang di posyandu. Dalam keadaan seperti itu, posdaya menjadi mitra kerja yang sangat efektif untuk pembinaan Posyandu.

Di dua kecamatan itu, dalam kerangka program kerja Posdaya yang mengutamakan empat program pokok, yaitu bidang pendidikan, kesehatan, wirausaha dan lingkungan hidup. Tidak jarang pengurus posdaya menjadi pemrakarsa atau menghidupkan kembali program dan kegiatan-kegiatan posyandu yang di masa lalu sangat marak. Salah satu contohnya, posdaya menjadi acuan beberapa perusahaan untuk membantu kewat orogram Kartu Menuju Sehat (KMS).

Pengurus posdaya bekerja sama dengan perusahaan mencetak KMS agar posyandu dapat aktif menimbang bayi dan anak balita dengan pencatatan yang teratur. Di bagian lain posdaya menjadi perantara untuk mencari sumbangan bagi pengembangan usaha ekonomi mikro dan koperasi dari dana CSR perusahaan yang bersangkutan. Posdaya juga memfasilitasi sumbangan untuk makanan contoh yang kaya gizi sehingga keluarga yang datang ke posyandu dapat mengolah makanan secara mandiri dengan contoh yang diberikan di posyandu tersebut.

Iha Haryani dari LPM Universitas Pancasila berjanji untuk memperbaiki salah pengertian di antara banyak sekali posyandu yang menyajikan makanan bergizi sebagai contoh di posyandu tetapi dianggap sebagai makanan tambahan. Makanan di posyandu bukan – sekali lagi bukan – makanan tambahan. Makanan itu hanyalah contoh agar setiap keluarga bisa meramu makanan untuk anak balita secara mandiri yang jenis variasinya dicocokkan dengan percontohan yang diberikan di posyandu.

Perbaikan gizi anak balita tidak bisa hanya dengan makanan bergizi sebulan satu kali di posyandu tetapi harus dengan teratur diberikan sebagai makanan bergizi setiap hari. Karena itu, pada kegiatan selanjutnya Iha dan kawan-kawan dari Universitas Pancasila akan menganjurkan agar setiap keluarga membangun Kebun Bergizi di halaman rumah masing-masing. Yang diharapkan halaman mereka akan menghasilkan sayuran, yang akan diolah bersama telor, daging guna memenuhi kebutuhan makanan bergizi.

Dalam gelar posdaya itu akan diundang semua pengurus posdaya dan ketua tim penggerak PKK Jakarta Selatan yang ternyata sangat berminat memperluas jangkauan posdaya ke seluruh kecamatan di kota Jakarta Selatan.

Gurita Wikileaks

Drama politik baru muncul setelah dua koran Australia, The Age dan Sydney Morning Herald, memuat pemberitaan tentang Indonesia. Tidak tanggung-tanggung, sejumlah pejabat dan mantan pejabat negara disebut, begitu pula pengusaha dan politikus. Informasi yang disampaikan menyengat pihak Istana Negara, sehingga memunculkan sikap defensif sekaligus juga mengatakan bahwa apa yang ditulis adalah berita sampah.

Soal kredibilitas, kita tentu paham betapa The Age dan Sydney Morning Herald sudah mendapat tempat di hati rakyat Australia. Di zaman serba terbuka ini, konsumen kedua koran itu bukan hanya masyarakat Australia, tapi juga siapa pun yang bisa mengaksesnya via Internet. Tentu yang pertama adalah konsumen yang berbahasa Inggris. Sementara selama ini para aktivis Indonesia bersusah payah menyodorkan informasi yang layak diberitakan di luar negeri, sekarang justru pihak The Age dan Sydney Morning Herald sendiri yang berinisiatif memuat informasi yang diperoleh dari WikiLeaks.

Apa pula itu WikiLeaks? Banyak pihak kesulitan menempatkan WikiLeaks dalam khazanah informasi modern. Sebagian besar menganggapnya sebagai ancaman, sebagian yang lain justru menganggapnya sahabat. Masalahnya, apakah informasi yang dirilis WikiLeaks layak masuk dalam kualifikasi informasi akurat? Dalam arti sederhana: apakah data-data WikiLeaks bisa masuk dalam khazanah ilmu pengetahuan? Apakah dibenarkan, dalam menulis sebuah karya ilmiah, informasi WikiLeaks dimasukkan sebagai catatan kaki atau bibliografi?

Sebetulnya, ketika informasi dijadikan sebagai salah satu ikon dalam globalisasi, tidak perlu lagi ada kekagetan atas medium yang dipakai. Sebelumnya, terjadi kekagetan ketika film Hollywood tidak bisa lagi diputar di Indonesia, sehubungan dengan kenaikan cukai. Film, dalam konteks ini, juga bukan hanya sebagai seni atau hiburan, tapi juga berisi bermacam informasi yang dijadikan sebagai “alat propaganda”, misalnya. Karena itu, ketika bentuknya berubah menjadi WikiLeaks, layak dilihat sebagai “naskah film yang belum selesai”.

Apakah informasi yang disajikan WikiLeaks termasuk kategori rahasia negara? Sulit menempatkannya pada sisi itu, ketika justru WikiLeaks sedang mencoba melakukan proses penelanjangan global atas negara dan antarnegara. WikiLeaks adalah komunitas yang mengambil risiko fatal dengan cara dijadikan target serangan kelompok yang tidak menyukai.

Tetapi, sampai sejauh ini, belum ada pihak yang berhasil menempatkan komunitas pengelola WikiLeaks sebagai kriminal atau melanggar hukum.

Jadi, apa salah WikiLeaks? Rasa-rasanya berlebihan apabila informasi disalah-salahkan, apalagi atas nama nasionalisme sempit. Untuk urusan keluarga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, misalnya, jauh lebih detail informasi yang dicoba dikemas oleh George Junus Aditjondro dalam buku yang sangat terkenal: Gurita Cikeas. Buku yang sempat menjadi yang paling dicari ini, serta berharga mahal walau hanya fotokopian, memuat sejumlah nama orang, perusahaan, yayasan, dan lain-lainnya yang berkaitan dengan keberadaan keluarga Cikeas.

Tidak ada penyelidikan atau penyidikan resmi menyangkut informasi yang disampaikan oleh George dalam bukunya itu. Malahan, masalah pribadi mencuat ketika Ramadhan Pohan dari Partai Demokrat membuat laporan ke polisi terkait dengan insiden ketika buku Gurita Cikeas itu didiskusikan. Buku, untuk ukuran apa pun, masih dapat disebut sebagai karya ilmiah, ketimbang informasi yang diedarkan via Internet tapi belum diolah. Untuk menjawab kelemahan sebuah buku, biasanya diperlukan buku lain. Makanya, kisah Adolf Hitler atau Sukarno ditulis berkali-kali oleh orangorang yang sama atau berbeda sama sekali.

Reaksi Istana Negara hampir sama antara kasus buku Gurita Cikeas dan kasus berita yang dilansir oleh The Age dan Sydney Morning Herald. Hanya, untuk kasus terakhir tampaknya pemerintah menyerah. Selain beberapa pihak melakukan klarifikasi dengan hak jawab, misalnya, sama sekali tidak ada upaya untuk membongkar motif-motif yang sudah sengaja dituduhkan, misalnya motif politik atau ekonomi.Yang dilakukan justru mendelegitimasi keberadaan WikiLeaks, sekaligus The Age dan Sydney Morning Herald, yang dianggap tidak melakukan kerja-kerja jurnalistik.

Padahal kasus WikiLeaks ini adalah jalan yang tersedia untuk menguji-coba ketahanan bangsa ini dari terjangan informasi skala global. Anak-anak muda Indonesia semakin banyak yang mampu berbahasa Inggris dengan baik. Informasi yang dipungut dari jalanan akan terasa jauh lebih bernas apabila pihak Istana malahan menutup-nutupi diri. Begitu juga sejumlah politikus, pengusaha, ataupun pejabat yang disebut dalam kawat diplomatik yang dibocorkan WikiLeaks.

Akan sangat bermanfaat bila keterbukaan WikiLeaks dijawab dengan keterbukaan serupa, ketimbang mencoba mencari kambing hitam atas sesuatu yang sudah terlihat seputih kertas.

Kasus WikiLeaks, kasus informasi menyangkut keberadaan Republik Maluku Selatan di Belanda, kasus buku Gurita Cikeas, sampai kasus pencurian data yang dimiliki oleh staf Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Hatta Rajasa di Korea Selatan, semakin menunjukkan betapa pentingnya informasi. Infor masi bisa diserakkan di atas laptop yang butut maupun tersedia da lam rak-rak yang rapi di per pustakaan. Perburuan dan perebutan atas informasi ini akan menjadi bagian ter penting dari perebutan pe ngaruh di berbagai bidang, baik ekonomi, pertahanan, maupun politik.

Nah, kenapa sekarang justru kasus WikiLeaks ini seakan dicoba ditutup-tutupi? Semakin ditutup-tutupi, semakin sulit bagi bangsa ini untuk belajar menjadi bangsa yang rasional dan tidak sepenuhnya bergantung pada informasi-informasi resmi yang berisi propaganda.

Pengalaman Pemilu 2009 menunjukkan bagaimana informasi resmi dimanipulasi untuk kepentingan pencitraan dengan biaya yang mahal. Akan jauh lebih baik apabila yang diandalkan adalah publik yang rasional, bukan yang mudah diombang-ambingkan oleh secuil informasi yang datang dari luar negeri.

Pertanyaannya, bagaimana kalau WikiLeaks memiliki lebih banyak informasi lagi? Bagaimana kalau justru WikiLeaks memiliki kemampuan yang lebih dari sekadar informasi skala kecil di dua buah koran di Australia? Akankah WikiLeaks menjadi gurita informasi, bukan hanya sebatas buku sederhana Gurita Cikeas? Sebelum WikiLeaks datang dengan air bah informasinya, jauh lebih baik menghadapinya sekarang juga. Jauh lebih baik belajar cara memadamkan api ketika masih berupa lilin. Kalau sudah kebakaran skala besar, perlu banyak tenaga dan daya-upaya untuk belajar sekaligus memadamkan apinya.

Krisis Pangan dan Instabilitas Politik

Revolusi Melati (Jasmine Revolution) di Tunisia yang berhasil menggulingkan Presiden Zine el-Abidine Ben Ali melalui gerakan people power benar-benar menjadi inspirasi negara-negara Timteng dan Afrika. Rakyat di negara-negara seperti Yordania, Aljazair, Oman, dan Yaman pun ikut-ikutan menuntut mundur rezim otoriterianisme, pasca penggunduran diri Presiden Mesir Hosni Mubarak.

Gejolak politik yang melanda Timteng ini telah menciptakan instabilitas politik berupa gerakan revolusioner dan menuntut reformasi politik, ekonomi serta penurunan harga kebutuhan pokok dan penciptaan lapangan kerja baru bagi masyarakat.

Secara implisit, gejolak politik di Timteng sebenarnya dipicu oleh krisis pangan dunia yang saat ini menjadi ancaman global. Krisis pangan dikhawatirkan dapat memicu krisis ekonomi, meningkatkan jumlah orang miskin dan pengangguran.

Bagi Indonesia, krisis politik di Mesir bisa menjadi pembelajaran politik yang sangat berharga meski pada 1998, Indonesia pernah mengalami hal serupa yang berlanjut pada kejatuhan rezim Orde Baru. Sayangnya, perubahan radikal yang dialami Indonesia ke fase reformasi tak lebih hanya sekedar euphoria belaka, karena kenyataannya pemerintah masih mengadopsi warisan Orde Baru. Persoalannya, sejauh mana krisis pangan dapat menjadi instabilitas politik suatu negara?

Mantan Presiden RI pertama, Soekarno, dalam pidatonya pernah mengingatkan masalah pangan merupakan hidup-matinya suatu bangsa. Apabila kebutuhan pangan rakyat tidak terpenuhi, ini bisa menjadi malapetaka bagi bangsa. Peringatan Bung Karno tersebut memang sudah terbukti. Banyak pemimpin dunia berhasil digulingkan rakyatnya melalui gerakan people power. Apalagi, bila kebijakan pemerintah dianggap tidak pro-rakyat.

Secara global, krisis pangan yang terjadi saat ini semakin parah akibat anomali perubahan iklim, bahkan Organisasi Pangan Dunia (FAO) sudah memprediksi Indonesia bakal terkena imbas krisis pangan dunia. Saat ini, Indeks Harga Pangan bulanan telah melonjak 3,4% selama periode Desember 2010 hingga Januari 2011. Indeks tersebut sekarang berada di tingkat tertinggi, bahkan hampir semua komoditas utama seperti padi dan minyak mengalami lonjakan yang luar biasa. Akibatnya, indeks harga pangan yang dirilis FAO mencapai 231 poin atau 3,4% lebih tinggi dibanding Desember 2010.

Karena itu, bila krisis pangan ini tidak cepat diantisipasi bukan tidak mungkin krisis politik seperti di Mesir bisa menjalar ke Indonesia. Apalagi, pemicu gejolak perlawanan rakyat sudah sangat terbuka, seperti angka kemiskinan dan pengangguran yang terus bertambah. Selain itu, sejak Januari lalu, hampir semua harga kebutuhan pokok mengalami kenaikan sekitar 15%.

Di lain pihak, target-target makro ekonomi hampir tak terpenuhi. Ancaman krisis pangan dunia niscaya mendongkrak target inflasi 2011 sebesar 5,3% dalam APBN. Kebijakan pemerintah melakukan pembatasan subsidi BBM dan tarif listrik, pelepasan capping listrik untuk industri menjadi penyumbang kedua pemicu terjadinya inflasi yang berpotensi menambah warga miskin. Karena itu, tidaklah salah bila Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu memprediksi perhitungan inflasi akibat pengaruh administered price bisa menyentuh ke level 6,1-6,6%. Kondisi ini merupakan isyarat Pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono gagal mengamankan ketahanan pangandan meredam inflasi?

Awal periode pertama pemerintahan SBY pada 2004 lalu, pemerintah mencanangkan program revitalisasi ketahanan pangan. Program ini dimaksudkan untuk mengubah pertanian menjadi sektor yang lebih kompetitif untuk menarik investasi swasta dan memberikan pendapatan lebih tinggi serta menciptakan lapangan kerja baru. Kenyataannya, sampai periode kedua pemerintahan SBY, belum satu pun program revitalisasi ketahanan pangan berhasil direalisasikan.

Sebut saja, program pembukaan lahan pertanian baru (ekstensifikasi), penerapan teknologi pertanian (intensifikasi), pemberian modal kepada petani untuk mengembangkan produksi pertanian, termasuk persiapan regulasi yang berpihak pada kepentingan petani. Kondisi ini memang sangat ironis dan bertolak belakang dengan cita-cita sebagai negara agraris untuk melakukan swasembada beras. Padahal, belajar dari negara-negara yang berhasil melakukan swasembada pangan, program ketahanan pangan akan berhasil bila pemerintah lebih memprioritaskan pada kebijakan pro-petani.
Krisis pangan yang terjadi di Indonesia saat ini justru dipicu oleh kenaikan harga pangan yang tak berkesudahan, seperti anomali iklim, hukum pasar antara supply-demand serta harga yang melambung tinggi sejak awal 2010 hingga saat ini. Bahkan, data Badan Pusat Statistik (BPS) 2011 menyebutkan, sejak Desember 2009 hingga Desember 2010, harga beras naik 30,9%, cabai rawit 119, 14%, cabai merah 62,41%, minyak goreng 9,89%, telur ayam ras 9,82%, dan daging ayam naik 6,65%. Akibatnya, daya beli masyarakat terus menurun. Sementara pemerintah sendiri belum mampu mengatasi gejolak harga yang terus melambung tinggi, sehingga target inflasi 2010 sebesar 5,3% justru meleset menjadi 6,9%.

Sedangkan hasil Sensus Penduduk 2010 menyebutkan, jumlah penduduk Indonesia saat ini mencapai 237,56 juta jiwa dan menempatkan Indonesia sebagai negara keempat terbesar dunia setelah China, India dan AS. Laju pertumbuhan penduduk sendiri tercatat 1,49%. Pesatnya laju pertumbuhan penduduk ini ikut mendorong meningkatnya permintaan pangan yang cukup signifikan. Hal ini tentu memerlukan antisipasi sejak dini.
Salah satu instrumen penting untuklmenciptakan kedaulatan pangan adalah mendukung usul inisiatif revisi UU No.7/ 1996 tentang Pangan serta PP No.68/2002 tentang Ketahanan Pangan yang diprakarsai FPG DPR RI dalam rangka mewujudkan ketahanan dan kemandirian pangan yang lebih pro-petani. Persoalannya, prakarsa ini belum berjalan maksimal karena revisi UU No.7/1996 belum termasuk daftar prioritas Badan Legislasi (Baleg) dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR.

Yang lebih mengejutkan lagi, sejak akhir 2010, pemerintah telah mengeluarkan kebijakan instan yang sangat merugikan petani dengan terbitnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK Nomor 241/2010) tentang Pembebasan Bea Masuk serta PMK Nomor 13/2011 tentang Perubahan 57 pos tarif bahan pangan, termasuk gandum. Bahkan, pemerintah ditengarai telah mengimpor 2,5 juta ton beras asal Thailand dan Vietnam dengan fasilitas bebas bea masuk nol persen. Kebijakan bea masuk nol persen tersebut membuktikan bahwa pemerintah sama sekali tidak berpihak kepada petani. Ada kesan pemerintah tidak memproteksi produk pertanian dalam negeri, tetapi malah kepada importir.

Tekad pemerintah mewujudkan ketahanan pangan memang masih sebatas retorika. Kenyataannya, para petani kita saat ini belum berdaulat atas proses produksi dan konsumsi pangannya, termasuk menjamin stabilisasi harga pangan. Karena itu, sangatlah sulit rasanya bagi Indonesia untuk kembali melakukan swasembada pangan seperti di era Soeharto. Yang perlu diantisipasi, mudah-mudahan krisis pangan tidak berimbas menjadi krisis politik yang dapat mengancam legitimasi pemerintah. ***

“The Untouchables” KPK

Penahanan para mantan anggota DPR periode 1999-2004 dengan tuduhan menerima suap cek pelawat dalam skandal pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda S Goeltom mengundang kontra dari berbagai kalangan. Bahkan, hal ini memicu perlawanan dari fraksi-fraksi di DPR.

Terlepas dari persoalan tersebut, perseteruan antara KPK dan DPR mestinya tidak perlu terjadi. Namun, bila dicermati, gebrakan yang dilakukan KPK dengan menahan para mantan politikus Senayan itu memang berimplikasi politik yang luar biasa. Pertama, menyangkut konstruksi hukum yang ditetapkan KPK sebagai landasan hukum untuk menjerat tersangka yang diduga menerima suap, dengan Pasal 5 Ayat (2) jo Pasal 5 Ayat (1) huruf a dan b, serta Pasal 11 UU No.31/1999 sebagaimana telah diubah menjadi UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) KUHP.

Penerapan pasal tersebut sangat sumir, karena jika deliknya penyuapan, idealnya KPK menghadirkan tersangka yang telah melakukan penyuap­an. Persoalannya, kenapa sudah hampir tiga tahun KPK tak mampu menghadirkan pemberi suap? Kedua, ada kesan KPK telah melakukan kriminalisasi dan politisasi kasus DGS BI. Dalam konteks kasus DGS BI, yang menjadi objek adalah parpol-parpol yang tergabung dalam barisan pendukung koalisi maupun oposisi (PDIP).

Ketiga, KPK sering kali berstandar ganda, bahkan melampaui batas kewenangan untuk mengadili seseorang di luar pengadilan. KPK sering kali tidak berdaya menyentuh pihak-pihak yang diduga keras terkait langsung dengan kasus tersebut. Padahal, sudah ada beberapa nama seperti Nunun Nurbaeti Daradjatun dan Arie Malangjudo, termasuk menetapkan status Miranda Goeltom sebagai tersangka. Kegagalan KPK menyentuh orang-orang yang untouchables justru merusak kredibilitas KPK sendiri, karena dalam konteks hukum antara penyuap dan penerima suap pastilah memiliki kausa­litas (sebab-akibat) yang sa­ngat erat hubungannya.

Diakui atau tidak, testimoni tersangka mafia pajak Gayus Tambunan di pengadil­an beberapa waktu lalu menjadi kotak pandora untuk membongkar tabir kebobrokan penegakan hukum. Jadi, bukan tidak mungkin kriminalisasi hukum yang dilakukan lembaga seperti PMH atau KPK hanya menjadi bagian dari kekuasaan.

Seperti yang dialami mantan Ketua KPK Antasari Azhar dengan berbagai konspirasi politik mulai dari isu perse­lingkuhan, penyuapan, sampai pembunuhan, adalah skenario yang sengaja diciptakan peme­rintah. Ini karena ada dua dosa besar yang dilakukan Antasari saat menjabat sebagai Ketua KPK, yakni rencana membongkar dugaan korupsi, manipulasi, serta rekayasa kasus daftar pemilih tetap (DPT) yang luar biasa, sekaligus mempermasalahkan salah satu pasangan pemenang Pilpres 2009 lalu, termasuk rencana membongkar skandal Century Gate yang melibatkan pihak-pihak yang untouchables. Buktinya, sampai sekarang KPK tidak mampu mengusut skandal Century dan mem­buka kotak pandora korupsi KPU.

“Miranda Gate”

Sejak KPK menahan tersangka suap skandal Miranda Gate, secara spontan terjadi konsolidasi politik antarsesama parpol pendukung koalisi pemerintah seperti Golkar, PKS, Hanura, dan PPP di Senayan untuk melakukan serangan balik, melalui pengajuan Hak Angket Perpajakan sampai rencana menghidupkan kembali Tim Pengawas skandal Bank Century yang sengaja dijadikan sandera politik oleh DPR. Bahkan, kabar terakhir menyebutkan bahwa Miranda Goeltom justru memiliki kartu truf skandal Century seperti yang di­sampaikan Sekjen PDIP Tjahjo Kumolo.

Sekiranya sinyalemen itu benar, wajar saja bila KPK menjadi tidak berdaya menetapkan Miranda Goeltom sebagai tersangka. Jika sampai Miranda Goeltom ditetapkan sebagai tersangka, bukan tidak mungkin dirinya akan mengikuti jejak Gayus Tambunan, memberikan testimoni soal keterlibatan pejabat tinggi negara dalam skandal Century yang bukti penyalahgunaan wewenangnya terang benderang. Bahkan, per­nyataan Presiden SBY dan perintahnya terhadap aparat penegak hukum untuk mengusut skandal Century hingga tuntas, justru menambah daftar dosa kebohongan. Ini karena instruksi tersebut sama sekali tidak terbukti. Pemerintah keukeh menutupi kasus tersebut, termasuk melakukan pembiaran politik dan merelakan mantan Menkeu Sri Mulyani menjadi Managing Director World Bank.

Terakhir pernyataan politikus senior Golkar Fahmi Idris yang memberikan testimoni soal keberadaan Nunun Nurbaeti Daradjatun yang menetap di Thailand sejak 16 Mei 2010. Lagi-lagi, kondisi ini membuktikan bahwa KPK bukanlah lembaga independen yang diharapkan mampu membongkar skandal mega korupsi. Bahkan, sejak KPK terbentuk pada 2004, antara prestasi dan kinerjanya sangat jauh dari harapan. Ini karena selama Semester I-2010 hanya ditemukan 176 kasus yang terjadi di pusat dan daerah, sedangkan pelaku korupsi 441 orang dengan kerugian negara sebesar Rp 2,1 triliun. Dari jumlah itu, KPK hanya mampu menyelamatkan uang negara sebesar Rp 175,9 miliar, sementara biaya operasionalnya Rp 265 miliar.

Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa skandal Miranda Gate memiliki dampak politis yang sangat luas. Ini karena bukan rahasia umum lagi bahwa fit and pro­per test di DPR pasti memiliki nuansa politis yang sangat kental. Apalagi publik memahami Miranda Goeltom memiliki hubungan emosional de­ngan PDIP. Sekiranya KPK benar-benar murni mengedepankan prinsip hukum dan menjunjung tinggi asas persamaan di hadapan hukum atau equality before the law, seharusnya semua anggota komisi saat itu dijadikan sebagai tersangka tanpa terkecuali. Logikanya, jika memang ada aliran dana saat fit and proper test, pastilah semua anggota komisi mendapatkan bagian.

Politisasi Hukum

Terbongkarnya skandal suap cek pelawat dalam pemi­lihan DGS BI Miranda Goeltom pertama kali dikemukakan mantan anggota FPDIP Agus Condro Prayitno yang mengaku menerima 10 lembar cek pelawat senilai Rp 500 juta pada pertengahan 2008. Secara implisit, testimoni Agus Condro membuka aib partainya yang bermain dalam pemilihan DGS BI tersebut.

Akibatnya, empat politikus partai yaitu Dudhie Makmun Murod (PDIP), Udju Juhaeri (TNI/Polri), Endin AJ Soefihara (PPP), dan Hamka Yandhu (Golkar) lebih dulu menikmati vonis pengadilan Tipikor karena terbukti menerima cek pelawat bersama rekan-rekannya. Persoalannya, setelah KPK berhasil menetapkan tersangka, kenapa masih ada babak kedua untuk mengkrimina­lisasi 26 anggota DPR lainnya?

Padahal, saat fit and proper test pemilihan DGS tersebut terdapat 41 anggota yang hadir dari 53 jumlah anggota komisi. Apalagi dalam persidangan Tipikor, majelis hakim saat itu memutuskan uang yang diterima empat politikus partai berasal dari Komisaris PT Wahana Esa Sejati, Nunun Nurbaeti Daradjatun. Persoalannya kemudian, kenapa sampai saat ini KPK tidak berhasil menghadirkan Nunun Nurbaeti dalam pengadilan Tipikor? Sangat aneh jika yang memberikan suap justru tidak tersentuh, sedangkan yang menerima suap justru mendapatkan ganjaran.

Oleh karena itu, dapatlah dipahami penahanan para politikus parpol yang dilakukan KPK tak lepas dari politisasi hukum yang dilakukan pemerintah, setelah gagalnya Satgas PMH mempolitisasi kasus Gayus Tambunan yang dijadikan pintu masuk untuk menyeret politikus parpol, termasuk Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie. Ini karena testimoni Gayus membuktikan keterlibatan Satgas PMH dalam konspirasi tersebut, meski pada akhirnya justru Presiden SBY mem-back up keberadaan Satgas PMH.

Apalagi Presiden SBY berjanji akan memimpin sendiri pemberantasan korupsi sebagai ikon. Ini tak lebih hanya retorika pencitraan untuk mendapatkan simpatik publik. Tampaknya, politik pencitraan ini sudah harus berakhir, apa­lagi setelah tokoh lintas agama mempersoalkan kebohongan yang dilakukan pemerintah karena tak mampu merealisa­sikan janji-janji politiknya.

Artinya, pemerintahan SBY-Boediono gagal menegakkan supremasi hukum sebagai panglima, bahkan hukum hanya dijadikan alat kekuasan untuk menghabisi lawan-lawan politiknya. Meski bukan rahasia umum lagi, keberadaan lembaga penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan, dan KPK mendapat stigma negatif dari masyarakat. Dengan demikian, penahanan terhadap politikus parpol harus menjadi pembelajaran bagi semua elite parpol supaya berhati-hati dalam memilih mitra koalisi. Apalagi KPK sebagai lembaga independen belum sepenuhnya bisa diharapkan.

 Kajian Hukum atas Pemilihan DGS BI

Tahun 2008, ada laporan masyarakat ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tentang penyerahan cek pelawat senilai Rp 9,8 miliar kepada sejumlah anggota DPR RI periode 1999-2004 terkait pemilihan Dewan Gubernur Senior Bank Indonesia (DGS BI) tahun 2004. Dari hasil penyelidikan, KPK menyimpulkan penyerahan cek pelawat itu berkaitan dengan pelaksanaan kewenangan, tugas, dan hak anggota DPR RI memilih DGS BI 2004.

Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menyatakan, “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”

Tindakan hukum pimpinan KPK hanya terhadap sebagian dari ‘penerima’ alat bukti berupa cek pelawat tahun 2004 – dari Partai Golkar, PDIP dan PPP – dengan (a) mencekal (travel ban), (b) memblokir rekening, (c) menahan, (d) mendakwa, dan (e) menetapkan tersangka, tanpa menerapkan tindakan hukum setara dengan ‘penerima’ lainnya yang berasal dari partai politik lain, membuktikan bahwa (i) KPK berisiko melanggar Pasal 27 ayat (1) UUD 1945; (ii) melakukan praktek diskriminasi hukum, dan (iii) melanggar Pasal 5 ayat (a) UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK.

Bahwa dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, KPK berasaskan pada kepastian hukum. KPK tidak menjunjung tinggi prinsip equity before the law (kesetaraan di hadapan hukum) Karena, total penerima cek pelawt pada tahun 2004 mencapai 59 anggota DPR RI. (Kompas, 29/1’11)

Dari fakta-fakta hukum terungkap di depan Pengadilan Tipikor atas kasus dugaan suap dalam pemilihan DGS bahwa cek pelawat yang keliru disangka sebagai alat bukti suap itu berasal dari sayap partai politik di DPR, bukan Komisi DPR RI.

Secara legal opinion, tidak ada unsur kerugian negara dalam penggunaan dana negara dalam cek pelawat tersebut. Dan, KPK keliru memilih dan menerapkan UU dalam kasus ini. Karena, KPK mengabaikan sejumlah fakta hukum kunci, yakni (1) pemilik cek pelawat, (2) pemberi cek pelawat, (3) motif, (4) kapan (tempus delicti), (5) tempatnya (locus delicti), dan lain-lain.

UUD 1945 hasil amandemen tahun 1999-2002 telah menetapkan kekuasaan, fungsi, dan hak-hak DPR RI secara kelembagaan dan sebagai anggota. DPR RI memegang kekuasaan membuat UU (Pasal 20 UUD 1945, hasil amandemen tahun 1999), memiliki fungsi legislasi, pengawasan, dan anggaran (Pasal 20 ayat 1 UUD 1945, hasil amandemen tahun 2000) serta memiliki 3 (tiga) hak konstitusional, interpelasi, angket, dan menyatakan pendapat. (Pasal 20A ayat 2 UUD 1945)

Masing-masing anggota DPR RI juga memiliki hak-hak konstitusional, yaitu hak mengajukan pertanyaan, usul, dan pendapat, serta hak imunitas. (Pasal 20A ayat 3 UUD 1945, hasil amandemen tahun 2000) DPR RI sebagai penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

Pertama, dalam pemilihan DGS BI tahun 2004, penggunaan ‘hak pendapat’ masing-masing anggota DPR RI tunduk pada arahan dan keputusan fraksi masing-masing partai politik. Karena, legitimasi anggota DPR periode 1999-2004 berasal dari partai politik secara langsung dan tidak langsung melalui Pemilu 1999.

Jadi, anggota DPR RI tidak melakukan penyalahgunaan kewenangan dalam pemilihan DGS BI tahun 2004. Dalam hal ini, secara legal, keputusan fraksi adalah ‘alat bukti’ utama, apakah ada penyalahgunaan kewenangan atau tidak. Kedua, KPK mengabaikan alat bukti berupa keputusan fraksi. Misalnya, fakta bahwa hukum ialah (a) keputusan Fraksi PPP tidak memilih Miranda S Gultom; (b) Anggota DPR RI diberi cek pelawat. Artinya, alat bukti yang keliru disangka sebagai korupsi itu sama sekali tidak berhubungan dengan jabatan, tidak bertentangan dengan kewajiban dan tugasnya anggota DPR RI dari Fraksi PPP.

Jadi, tidak melanggar ketentuan Pasal 12B ayat 1 No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi. Tetapi, KPK menetapkan sejumlah anggota DPR RI dari Fraksi PPP sebagai tersangka dan terdakwa.
Fakta hukum lainnya: (a) sejumlah anggota Fraksi PDIP diberi cek pelawat oleh Bendahara Fraksi, bukan Komisi; sesuai arahan dan keputusan pimpinan Fraksi PDIP, Mei 2004, anggota-anggota Fraksi PDIP memilih Miranda S Gultom tahun 2004.

Tindakan KPK menetapkan anggota F-PDIP yang diberi cek pelawat, sebagai tersangka, terdakwa, rekeningnya diblokir, dicekal, dan ditahan.

Ketiga, Pasal 6 (c) UU no. 30 Tahun 2002 tentang KPK menyebutkan ‘tugas KPK’ ialah melakukan penyelidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Sedangkan Pasal 6 (c) UU No 30 Tahun 2002 menyatakan bahwa ‘tugas’ KPK adalah melakukan monitoring terhadap penyelenggaraan pemerintahan Negara.

Pasal 11 UU No 30 tahun 2002 menyatakan bahwa dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang: (a) melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara. Secara legal opinion, KPK lalai melakukan tugasnya yaitu melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap ‘orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi’.

Mereka adalah (1) pemilik cek, (2) pemberi cek dalam kasus ini karena tidak mengusutnya. KPK melanggar Pasal 27 ayat (1) UUD 1945: (ii) melakukan praktek diskriminasi hukum, (iii) melanggar Pasal 5 ayat (a) UU No 30 tahun 2002 tentang KPK yang menyatakan bahwa ‘Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, Komisi Pemberantasan Korupsi berasaskan pada: (a) kepastian hukum.

Aliran cek pelawat berasal dari fraksi, salah satu parpol sebagai organisasi yang sah, bukan organisasi kriminal, bukan pula organisasi terlarang dan fungsi-fungsinya diakui legal di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Di depan Pengadilan Tipikor terungkap bahwa ada penerima cek pelawat yang menggunakan dana itu untuk kebutuhan kampanye Pilpres 2004.

Hanya UU tentang Parpol, khususnya keuangan partai yang dapat diterapkan dalam kasus ini dan bukan UU Tipikor. Sebab, tidak relevan KPK mempertanyakan penggunaan dana cair dari cek pelawat. Para penerima hanya berkewajiban mempertanggungjawabkan kepada fraksi atau partai masing-masing dalam skema dan aturan main keuangan partai politik.

Dhus, kesimpulannya: KPK keliru memilih dan menerapkan UU (choice of law) dalam kasus ini karena mengabaikan sejumlah fakta hukum kunci, seperti (a) asal usul cek pelawat, (b) pemilik cek pelawat, (c) pemberi cek pelawat, (d) motifnya, dan lain-lain. ***

 

Dunia Arab di Ambang Revolusi Mesir

Sebuah perubahan radikal dan revolusioner sebentar lagi akan terjadi di Mesir. Negeri Piramida ini memasuki hari ketujuh masa-masa kaotik secara politik yang luar biasa masif. Ratusan ribu masa berdemo secara beringas di hampir seluruh penjuru negeri menuntut lengsernya Rezim Presiden Hosni Mubarak dan dimulainya reformasi dan perbaikan ekonomi.

Ekspresi kemarahan terhadap rezim dimanifestasikan dalam bentuk demonstrasi beringas, bahkan penjarahan dan perusakan di antero negeri.Korban telah mencapai angka di atas seratus jiwa.

Media massa cetak dan elektronik menyebut apa yang terjadi di Mesir dengan kata-kata keras dan tajam seperti Egypt in turmoil (Mesir dalam kekacauan),Egypt in crisis (Mesir dalam krisis),bahkan Egypt in the edge (Mesir di tubir jurang kehancuran).Semuanya menggambarkan betapa Mesir berada dalam situasi krisis yang sangat gawat.

Apalagi jika krisis ini berlangsung berlama-lama karena rezim Presiden Hosni Mubarak cenderung buying time dan bergeming untuk tetap bertahan. Sementara rakyat tetap kukuh pada tuntutannya yang utama yaitu lengsernya rezim status quo yang sudah berkuasa selama 30 tahun ini.

Negara Arab Terpenting

Gerakan rakyat antirezim tahun 2011 ini skalanya jauh lebih besar dari pada Revolusi 1952 untuk menghapuskan monarki dengan menggulingkan Raja Faruq dan Revolusi Gandum atau Roti tahun 1977 untuk memprotes pengurangan subsidi gandum dari 65% menjadi 40% sehingga harganya melambung dan mencekik rakyat.

Rakyat Mesir memang sangat revolusioner, sehingga saking revolusionernya sekadar pengurangan (bukan penghapusan) subsidi roti saja telah cukup mendorong terjadinya gerakan menentang pemerintah sehingga berujung pada terjadinya revolusi rakyat. Apatah lagi dengan situasi perekonomian nasional Mesir sekarang ini yang sangat buruk,bahkan bobrok.

Jumlah mereka yang berpenghasilan di bawah dua dolar mencapai di atas 40% dari total penduduk yang berjumlah 80 juta jiwa, dan pengangguran yang merajalela telah menjadi prime mover yang utama bagi rakyat untuk bergerak tanpa harus dipimpin oleh siapa pun. Sementara kalangan kelas menengah ke atas ikut mendukung gerakan karena mereka muak pada sistem pemerintahan yang otoriter, tangan besi, korup, menindas hak asasi manusia, dan jauh dari kebebasan politik.

Bertemunya dua aspirasi ini melahirkan sebuah gerakan revolusi yang luar biasa besar dan berenergi untuk menentang serta menjatuhkan rezim. Maka dipicu oleh keberhasilan revolusi Tunisia menggulingkan Presiden Zine El-Abidin Ben Ali awal tahun 2011 yang mengakibatkan ‘efek karambol’ luar biasa itu, rakyat Mesir, sebagaimana rakyat Aljazair,Yaman,danYordania,bergerak untuk menuntut demokrasi dan perbaikan ekonomi.

Tetapi dibandingkan dengan liputan terhadap gerakan Revolusi Tunisia, Aljazair, Yaman, dan Yordania, perhatian dunia internasional jauh lebih besar terhadap Mesir. Ini bisa dimengerti karena Mesir bukan hanya negara Arab terbesar penduduknya (80 juta jiwa), melainkan juga terpenting dan secara politik memang negara Arab yang paling strategis. Mesir dengan Universitas Al- Azhar-nya adalah pusat pendidikan Islam yang luar biasa berpengaruh di seluruh dunia Islam.

Mesir juga merupakan pusat intelektualisme Arab dan Islam di mana para pemikir Islam garda depan bermukim.Last but not least,secara politik Mesir adalah pusat Dunia Arab. Dari ibukota Mesir, Cairo, organisasi Liga Arab (Arab League) yang prestisius itu digerakkan sehingga menjadi organisasi yang progresif. Bahkan Sekretaris Jenderal Liga Arab sekarang ini,Amru Musa,adalah putra Mesir juga.

Begitu sentral dan signifikannya posisi Mesir bagi Dunia Arab dapat dibuktikan dengan melihat pasang surutnya konflik Arab- Israel. Manakala Mesir tidak mau dan tidak bersedia melakukan perang dengan Israel maka tidak pernah ada Perang besar Arab-Israel kapanpun juga.Maka begitu Mesir meneken Perjanjian Perdamaian Camp David Tahun 1978 antara Mesir dan Israel yang diprakarsai oleh Presiden Amerika Serikat Jimmy Carter maka terbukti tidak terjadi perang Arab-Israel.

Bahkan bukan hanya itu: alih-alih beberapa negara-negara Arab seperti Yordania dan Maroko malah mengikuti jejak Mesir menandatangani perjanjian perdamaian serta menjalin hubungan diplomatik dengan Israel. Kini negara yang begitu penting dan strategis itu mengalami krisis pergolakan politik yang sangat dramatis.

Dan tampaknya tingkat frustrasi dan kemarahan rakyat sudah sedemikian tingginya sehingga segala macam pernyataan, instruksi,dan ancaman pemerintah tidak menyurutkan sedikit pun gerakan revolusi rakyat. Alihalih memasuki hari ke tujuh rakyat justru semakin berani dan tidak peduli dengan pemberlakuan jam malam dan larangan-larangan sejenisnya.

Tidak ada lagi kepercayaan tersisa terhadap rezim sehingga langkah Presiden untuk melakukan reformasi dengan mengangkat Omar Sulaiman sebagai Wakil Presiden baru, dan Jenderal AU Ahmad Syafik sebagai Perdana Menteri baru, tidak berpengaruh sama sekali.Kesemuanya dianggap sebagai kebohongan belaka!

Dunia Arab Baru?

Sungguh tak terbayangkan bagaimana konstelasi politik dunia Arab pasca-kejatuhan rezim Presiden Hosni Mubarak nanti. Pasalnya, keberhasilan revolusi rakyat Mesir akan mengakibatkan efek karambol yang jauh lebih dahsyat lagi di dunia Arab pada khususnya dan Dunia Ketiga pada umumnya. Sebab,mayoritas negara-negara Arab sekarang ini bukanlah negara demokrasi untuk tidak mengatakannya sebagai negara-negara otoriter dan diktatorial.

Negara-negara semacam ini berpotensi untuk melahirkan gerakan- gerakan perlawanan rakyat menuntut demokrasi,kebebasan politik,dan penghormatan terhadap nilai-nilai hak asasi manusia.Gelombang demokratisasi sungguh sulit dielakkan pada era globalisasi sekarang ini. Apalagi jika ketidakpuasan politik tersebut dibarengi dengan ketidakpuasan sosial dan ekonomi, di mana tingkat kesejahteraan rakyat merosot, angka kemiskinan tinggi, pengangguran merajalela, tidak adanya keadilan sosial dan ekonomi, atau apalagi jika ditambah dengan fenomena kesenjangan sosial yang semakin melebar.

Negara-negara Arab sekarang ini, sebagaimana juga negaranegara Asia dan Afrika lainnya yang masih berkembang, berada dalam situasi sosial-politik-ekonomi yang semacam ini. Walhasil, efek karambol bukanlah merupakan hal yang mustahil terjadi. Jika gelombang revolusi yang berujung pada perubahan rezim terjadi di dunia Arab niscaya padang pasir Arab akan berubah menjadi padang pasir demokrasi.

Rezim-rezim demokrasi yang paralel dengan pilihan rakyat yang demokratis akan bermunculan menggantikan rezim-rezim lama yang otokratis dan despotik tetapi anehnya didukung Barat, khususnya Amerika Serikat. Harus dicatat bahwa rezim-rezim Arab yang memerintah sekarang ini, termasuk pemerintahan Presiden Tunisia Ben Ali dan Presiden Mesir Hosni Mubarok adalah sekutu-sekutu Barat, khususnya Amerika Serikat.

Tak terbayangkan jika rezim-rezim pro-Barat ini terjungkal dan digantikan oleh rezim-rezim baru yang demokratis. Sungguh kita akan melihat sebuah dunia Arab yang baru, yang lain sama sekali dengan dunia Arab yang sekarang ini.Apakah demokrasi bagi dunia Arab akan menjadi berkah ataukah justru musibah, sejarah yang akan menunjukkan kepada kita.(*)

Memberdayakan Sekaligus Melestarikan Alam

 

Gerakan pendampingan Kuliah Kerja Nyata (KKN) Tematik Posdaya oleh berbagai Perguruan Tinggi yang akhir-akhir ini makin marak di Tanah Air, ternyata membawa dampak positif yang luar biasa. Selain mengupayakan pemberdayaan keluarga, juga mampu mendukung program pelestarian lingkungan yang selama ini banyak diprihatinkan masyarakat luas.

Gerakan ini memungkinkan keluarga-keluarga sederhana di pedesaan mendapat pendampingan hingga menjadi semakin cerdas, terampil dan menghasilkan karya nyata yang menguntungkan. Di lain pihak, para mahasiswa sebagai pendamping berhasil membawa berbagai hasil penelitian dan pengetahuan yang selama ini diperoleh di kampus perguruan tinggi untuk kemudian dikembangkan sekaligus disebar-luaskan secara penuh ke masyarakat.

Pembangunan berkeadilan menjadi tema pokok dalam upaya menanggulangi kemiskinan dan kelaparan di pedesaan secara bersama-sama. Di sela-sela melakukan aktivitas pemberdayaan, masyarakat juga diimbau untuk melestarikan lingkungan sesyau pesan dunia, antara lain dengan berhemat dalam menggunakan air yang semakin langka di muka bumi.

Dorongan untuk berhemat dengan air sekaligus karena air merupakan komoditas yang sangat dibutuhkan oleh seluruh makhluk hidup di dunia, baik manusia, binatang maupun tumbuhan. Oleh karena itu, pembangunan perlu difokuskan pada upaya pro rakyat dengan tiga titik pokoknya. Yakni, pro upaya penanggulangan kemiskinan berbasis keluarga, pengentasan kemiskinan berbasis pemberdayaan keluarga dan program pemberantasan kemiskinan berbasis usaha mikro dan kecil (UKM). Bagaimanapun UKM merupakan bagian dari unit keluarga selalu dijadikan titik sentral pembangunan.

Pengembangan Kebun Bergizi di lingkungan keluarga, yang intinya menjadikan setiap halaman rumah sebagai Kebun Bergizi menjadi acuan yang perlu mendapat perhatian. Karena, halaman rumah selalu menjadi titik pangkal pengembangan Kebun Bergizi.

Dalam hal ini, perlu selalu diusahakan agar air yang ditumpahkan dari langit di lingkungan halaman rumah dipelihara dengan menyimpannya sebaik mungkin. Di daerah yang airnya melimpah tentu tidak perlu khawatir akan kebutuhan air untuk menyiram tanaman di halaman rumahnya.

Tetapi, di wilayah dengan pasakan air yang minimal, setiap keluarga dianjurkan untuk berhemat dengan air tersebut. Di Surabaya dan daerah-daerah lainnya, yang airnya tidak terlalu jarang, mulai banyak keluarga di berbagai desa diberikan petunjuk bagaimana menghemat air, baik yang berasal dari langit, air yang digali dari tanah maupun air limbah rumah tangga.

Penduduk pedesaan tidak dibenarkan lagi membuang-buang air seenaknya. Mereka dianjurkan agar air limbah pun ditampung, didaur ulang melalui proses pembersihan sederhana. Air daur ulang tersebut dipakai kembali untuk menyiram tanaman Kebun Bergizi yang dipelihara di halaman rumah masing-masing dengan baik.

Proses penggunaan air daur ulang tersebut ternyata sangat menguntungkan karena mengandung sisa-sisa kotoran yang justru menjadi pupuk. Pemakaian air daur ulang itu menyebabkan pemakaian air yang ditampung dari langit, air tanah maupun air PAM dari pipa-pipa pemerintah daerah yang terbatas, menjadi sangat minimal alias bisa dihemat.

Kebun Bergizi yang makin marak di banyak pedesaan dan makin memerlukan air secara teratur ternyata perlu pemupukan yang tidak kalah rajinnya. Pohon-pohon tanaman bergizi yang dilindungi tanaman tahunan, seperti mangga dan pohon lainnya ternyata bisa menjadi kawan karib yang sangat menguntungkan.

Makin rimbunnya tanaman itu setelah kebun dirawat dengan pengairan yang baik ternyata menghasilkan limbah dedaunan yang jatuh dari setiap pohon. Awalnya dedaunan tersebut dirasa mengganggu halaman yang bersih dan bebas dari kotoran dedanunan.

Dengan pendampingan yang makin profesional dari para mahasiswa ternyata dedanunan tersebut, dikombinasikan dengan sisa-sisa makanan dan sampah basah rumah tangga lainnya, dapat diolah dengan baik menjadi pupuk organik. Dhus, tanah-tanah halaman yang semula gersang dan tidak akan mudah ditumbuhu tanaman Kebun Bergizi, pada akhirnya menjadi subur.

Keluarga Hadiono dan Dewi di Jakarta mempraktikkan kerja sederhana yang dengan mudah dapat dilakukan pula oleh keluarga-keluarga lain yang sayang lingkungan dan sekaligus sayang tanaman Kebun Bergizi dirumahnya. Untuk maksud itu diperlukan sebuah tong-tong plastik bekas yang bisa diisi dengan 25-50 liter sampah. Tong-tong bekas itu bisa diambil atau dibeli dan dipilih yang bisa ditutup untuk disulap menjadi pabrik sampah yang sangat murah dan dapat diolah oleh setiap keluarga di rumah masing-masing.

Sampah-sampah dari dedaunan yang berjatuhan dan limbah masak di setiap dapur atau sisa makan yang ada diiris-iris menjadi serpihan kecil dan dimasukkan ke tong agar mudah diproses secara alamiah menjadi pupuk yang sangat berguna. Tong itu sebaiknya mudah digoyang-goyang agar proses alamiah itu berlangsung lebih cepat dan segera menghasilkan pupuk yang sangat baik dalam waktu cepat.

Setelah serpihan irisan sampah daun dan sisa dapur diiris-iris dan dimasukkan ke dalam tong sampah, dengan cermat dibubuhi perangsang obat enzym yang mudah dibeli bernama EM4. Di Jakarta, setiap botol obat enzym tersebut harganya sekitar Rp. 20.000.

Setiap takaran satu tutup botol obat itu dicampur dengan 1 liter air dan disemprotkan secara acak pada sampah serpian daun yang berada di tong sampah. Dengan perawatan dan penyemprotan yang penuh kasih sayang, agar sampah berubah menjadi pupuk, maka satu liter air dengan campuran EM4 itu tidak digelontor, tetapi disemprotkan agar merata.

Dengan cara itu maka sampah dalam tong ukuran kecil itu, setelah sekali-kali digoncang-goncangkan, dalam waktu dua minggu atau lebih, akan mengalami proses alamiah, berubah menjadi pupuk yang sangat berguna untuk Kebun Bergizi di halaman setiap rumah.

Secara sederhana, tong sampah bisa diberi lobang untuk mengalirkan air yang merembes. Kemudian, rembesan air itu ditampung dalam botol dan bisa digunakan sebagai pupuk cair yang sangat berguna bila dicampur dengan air hasil proses daur ulang. Air dan pupuk yang berasal dari limbah, akhirnya dapat bermanfaat untuk melestarikan lingkungan di halaman kita.

Pupuk organik jauh lebih baik dibandingkan dengan pupuk kimia yang disadari atau tidak mempengaruhi pemanasan global hingga menyebabkan perubahan iklim, pergeseran musim musim atau gangguan lainnya. Insya Allah, kita tidak membuang air dan sampah sembarangan lagi.