Media
Politik bukanlah matematika atau ilmu eksakta yang serbapasti dan rasional. Tetapi, dengan mengatakan demikian, bukan berarti politik itu barang gaib (supranatural) yang irasional (atau transrasional) dan sama sekali tidak bisa dipantau.
Politik, kata sebuah adagium, memang lebih sebagai sebuah seni (art), yakni seni memainkan kemungkinan (the art of the possible) dari pada ilmu.Tetapi, dengan adagium ini juga, bukan lantas berarti bahwa dalam politik hal-hal yang tidak mungkin (dalam ilmu Kalam disebut “hal-hal yang mustahil” atau impossible) dapat menjadi mungkin (possible) dengan begitu saja.Pemahaman demikian agaknya terlalu arbitrer alias sewenang-wenang.
Meski adagium “politik sebagai the art of the possible”bisa juga dipahami bahwa dalam dunia politik tidak ada yang tidak mungkin, janganlah bermain di atas ketidakmungkinan. Kalau partai yang kita dukung tidak mendapatkan sejumlah kursi dengan jumlah yang signifikan dalam parlemen misalnya, janganlah ngotot berusaha dengan segala cara untuk berkuasa. Berpolitik memang memerlukan seni, yakni seni berpolitik untuk mencapai tujuan itu sendiri. Inilah seninya politik.
Politik yang kita tanggapi sebagai seni akan jauh dari obsesi. Jauh dari obsesi berarti jauh dari frustrasi dan stroke. Obsesi terhadap suatu posisi politik seperti menjadi anggota parlemen, presiden, atau menteri akan menjadikan seseorang berusaha dengan menghalalkan segala cara (the end justifies the mean) dan karena itu akan menimbulkan kekecewaan dan frustrasi yang luar biasa manakala obsesinya itu gagal tercapai. Sebaliknya, berpolitik sebagai seni niscaya akan penuh keasyikan ter-sendiri karena kita berpolitik dengan gembira serta tidak keburu nafsu.
Politik Transaksional
Tetapi, akhir-akhir ini di negeri kita ini, politik sebagai seni kurang berkembang.Ada kecenderungan politik dipandang sebagai political game atau bahkan power game semata. Tentu,yang namanya politik itu mau didefinisikan dengan cara yang bagaimanapun ujung-ujungnya adalah soal kekuasaan: who gets what,when, where, and how.Tetapi,bagi orang yang menghayati politik sebagai panggilan hidup mesti ditambah satu W lagi, yaitu why: mengapa mesti berkuasa?
Di sinilah relevansinya ungkapan nobles oblige(kedudukan yang terhormat itu mengandung kewajiban dan tanggung jawab) dalam politik itu.Karena itu, cara dan usaha untuk mencapai kekuasaan itu mestinya dilakukan dengan suatu kerja politik yang sabar dan tekun mirip dengan sebuah “permainan”( game)yang cantik dan penuh keindahan.Dengan seni: yakni seni mencapai tujuan.
Agaknya kini ada banyak politisi instan yang kurang memandang politik sebagai seni untuk mencapai tujuan. Atau malah jangan-jangan lebih buruk lagi dari pada itu: tidak memiliki tujuan untuk apa berpolitik kecuali sekadar meraih kekuasaan itu sendiri. Berpolitik bukan karena panggilan hidup yang sarat dengan perjuangan untuk mencapai cita-cita bernegara—yang benar atau salah—biasanya dikandung dalam sebuah ideologi. Ideologi menjadi sangat penting, sentral, dan signifikan dalam setiap partai politik.
Sekarang ini alih-alih berpolitik untuk memperjuangkan sebuah cita-cita sebagaimana yang didoktrinkan oleh ideologi politiknya malah sebaliknya,memperlakukan politik seperti komoditi: sarat dengan transaksi. Inilah yang akhir-akhir ini disebut dengan politik transaksional. Dulu kita menjauhi politik ideologi untuk menghindari konflik-konflik ideologis yang tidak produktif.
Maka itu, pemerintahan Orde Baru melakukan kebijakan deideologisasi politik terutama dalam bentuk kebijakan asas tunggal.Partai-partai politik seiring dengan ideologi pembangunanisme yang digalakkan waktu itu harus lebih tampil dengan program (program oriented) dengan pendekatan pemecahan masalah (problem solving). Begitu memasuki era reformasi yang penuh kebebasan tampillah kembali partai-partai politik yang mencoba membangunkan kembali ideologi.
Tetapi, eksperimen ini tidak berhasil: partai-partai ideologis itu tidak laku dan justru terlempar dari pentas politik reformasi. Partai-partai yang bertahan adalah partai-partai yang mengklaim dirinya sebagai partai terbuka, lintas ideologi, lintas agama, lintas etnis, dan lintas budaya.Singkatnya, partai-partai tidak lagi membawa ideologi yang berbeda secara signifikan. Programnya pun nyaris tidak berbeda satu sama lain.
Pergeseran Paradigma
Pergeseran dari politik ideologi ke politik nonideologis yang katanya berorientasi pemecahan masalah dan programatis yang semula benar dalam konteks menghindari konflik ideologis tersebut di atas dalam perkembangannya ternyata menjadi eksesif: berkembangnya pragmatisme politik. Tidak ada lagi perjuangan ideologi dalam politik, tapi perjuangan kepentingan.
Pengertian dari apa yang disebut ”kepentingan” itu pun sudah mengalami reduksi dan distorsi sedemikian rupa sehingga menjadi sekadar kepentingan materi atau bahkan uang. Inilah pangkal dari politik transaksional yang kini menyelimuti dunia perpolitikan nasional kita baik di tingkat pusat maupun di daerah. Politik transaksional terjadi baik secara internal maupun eksternal.Maka keunggulan politik seseorang tokoh tidak terlihat fenomenal karena pada sejatinya adalah keunggulan dalam bertransaksi belaka.
Keunggulan tersebut bukan sebuah raihan politik (political achievement) karena keunggulan visi, gagasan, dan ide-ide politis-ideologis yang memesona rakyat, juga bukan karena integritas dan kredibilitas sang tokoh yang memberikan motivasi serta inspirasi, melainkan hanya karena kecanggihan transaksional. Maka itu, kemampuan artikulasi dengan retorika sebagai seni berpidato yang bagus tidak lagi terlalu relevan, bahkan akan dicemooh sebagai omdo atau omong doang.
Pada perpolitikan era sekarang ini hampir-hampir tidak diperlukan lagi tampilnya politisi ideolog dengan kemampuan artikulasi yang memberikan inspirasi (inspiring) dan harapan, bahkan tidak untuk seorang demagog sekalipun! Di sini politik menjadi tidak indah,tidak cantik,dan tidak menarik untuk dinikmati.
Bagaimana menarik wong cuma transaksional belaka.Kalau toh kelihatannya terjadi sebuah dinamika dan dialektika politik yang seru atau bahkan sengketa politik yang keras, sebenarnya itu cuma menyangkut inkonsistensi dalam implementasi transaksi. Apa indahnya politik jika isinya sebagian besar cuma soal jual beli alias ”dol-tinuku” –kata orang Jawa—atau ”ente jual,ane beli” seperti kata ungkapan Betawi?
Hajriyanto Y.Thohari, Wakil Ketua MPR-RI.