Media
Media sosial semacam Twitter dan Facebook adalah sketsa betapa kemacetan di Jakarta jadi hantu yang muncul di pagi, siang, petang, dan malam hari. Menakutkan sebagai umpatan. Dan itu berlangsung bertahun-tahun. Tentu banyak solusi yang diberikan oleh para ahli tentang kota terbesar di Indonesia ini. Hanya, kemacetan--lalu banjir--tetap menjadi ciri dominan. Beban Jakarta demikian besar, termasuk pengisap triliunan uang yang hilang sia-sia akibat bahan bakar fosil menguap ke udara.
Tahun depan, Gubernur DKI Jakarta periode 2012-2017 dipilih secara langsung. Para kandidat sudah muncul, berikut program-program yang hendak dijalankan. Padahal Jakarta baru berubah menjadi daerah tingkat I pada 1959, sedangkan sebelumnya merupakan bagian dari Provinsi Jawa Barat. Status sebagai Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) baru didapat pada 1961. Artinya, baru 50 tahun Jakarta menjadi DKI. Sehingga, pengalaman beragam gubernur yang pernah menjabat relatif minim.
Nah, persoalannya, bagaimana wajah Jakarta 50 tahun ke depan? Apakah berubah menjadi kota yang benar-benar tidak lagi layak huni atau menjadi contoh bagi modernisasi Indonesia yang selama ini dijalaninya? Sudah jamak diketahui betapa Jakarta adalah barometer dalam kehidupan ekonomi, sosial, budaya, hingga ilmu pengetahuan. Jakarta menjadi hulu dan hilir bagi beragam kepentingan, termasuk politik. Ketika Jakarta berhasil menempatkan diri pada posisi yang menyenangkan bagi siapa pun, Indonesia secara keseluruhan bisa dipengaruhi ke arah yang positif. Sebaliknya, kesemrawutan Jakarta memberi beban bagi Republik Indonesia.
Sebagai Daerah Khusus Ibu Kota, Jakarta juga menjadi etalase dari kantor-kantor pemerintahan pusat (nasional). Di Jakartalah lembaga-lembaga negara menjalankan aktivitas, begitu juga kantor-kantor pemerintahan asing. Jakarta menjadi titik temu kepentingan lokal, nasional, dan internasional sekaligus. Karena itu juga, siapa pun yang memimpin Jakarta layak memiliki keberanian untuk menegakkan kepala berhadapan dengan siapa pun, termasuk presiden.
***
Mengingat persoalan-persoalan besar di Jakarta, rasa-rasanya Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta sebagai Ibu Kota Negara Kesatuan Republik Indonesia perlu dievaluasi kembali. Apakah cukup kuat undang-undang itu menampung persoalan-persoalan Jakarta, sekaligus visi pengembangannya ke depan? Apabila undang-undang itu membebani pelaksanaan jalannya pemerintahan, terutama dalam kedudukannya sebagai pemerintah daerah yang bergantung pada pusat, tentulah penting untuk direvisi.
Karena Jakarta adalah medan magnet bagi migrasi penduduk dari seluruh Nusantara, tentulah persoalan-persoalan di Jakarta terhubung dengan daerah-daerah lain, termasuk provinsi Banten dan Jawa Barat. Hampir sulit dibedakan daerah-daerah perbatasan antara Jakarta dan daerah di sekelilingnya. Gerbang perbatasan seakan hanya ornamen yang tak memperlihatkan perbedaan signifikan. Jakarta hakikatnya dikelilingi oleh kota-kota lain juga yang tingkat pertumbuhannya pesat.
Dari sini, konsep megapolitan yang pernah dilontarkan oleh Sutiyoso menjadi relevan dihadapkan lagi sebagai bahan diskusi. Kita tahu, Bandung menjadi penuh sesak pada Sabtu dan Minggu, ketika orang-orang Jakarta datang untuk berbelanja. Sebaliknya, belum ada satu kawasan pun di Banten yang bisa dijadikan area menarik untuk didatangi penduduk Jakarta. Bagi yang memiliki cukup uang, Singapura dan Bali seakan jadi kampung halaman untuk dikunjungi setiap pekan atau bulan.
Saking pentingnya provinsi-provinsi tetangga itu, guna mengatasi sebagian masalah Jakarta, tentu posisi Gubernur DKI Jakarta layak ditinggikan seranting, dimajukan selangkah. Sudah lama memang Gubernur DKI menjadi Ketua Asosiasi Pemerintahan Provinsi se-Indonesia (APPSI). Hanya, APPSI hanyalah organisasi yang lemah secara hukum, karena bersifat paguyuban. Tanpa ada kedudukan formal yang tegas terhadap posisi Gubernur DKI dalam kaitannya dengan gubernur-gubernur daerah lain, sulit untuk dilakukan koordinasi. Apalagi, standardisasi nasional dilakukan oleh pemerintah pusat, dalam hal ini kementerian terkait.
Salah satu cara mengatasi hal itu adalah menempatkan kedudukan Gubernur DKI menjadi semacam "gubernur jenderal" bagi pemerintah pusat. Jabatannya bisa saja menjadi setingkat menteri atau menjadi anggota resmi dalam sidang-sidang kabinet, tetapi tetap sebagai Gubernur DKI. Penempatan ini perlu dikaji oleh para ahli hukum tata negara, sebagaimana kedudukan yang diberikan kepada sejumlah "jabatan setingkat menteri" lainnya. Usaha ini minimal akan memberi kesempatan kepada Gubernur DKI untuk menyinergikan program-programnya dengan agenda-agenda nasional.
Yang selama ini menghegemoni adalah kata-kata "pusat" dan "nasional" yang berarti DKI Jakarta. Jakarta sebagai pusat dan Jakarta sebagai daerah semakin sulit dibedakan, ketika pada November dan Desember hotel-hotel sesak dipenuhi kegiatan akhir tahun dari seluruh elemen pemerintahan se-Indonesia yang menghabiskan anggaran publik.
***
Tanpa upaya menyesuaikan aturan perundang-undangan dengan kebutuhan Jakarta, akan sulit untuk menjalankan roda pemerintahan di DKI Jakarta dan persoalan-persoalan yang menyelimutinya. Jakarta yang sekarang tentu berbeda dengan Jakarta 50 tahun lalu. Pola kepemimpinan Ali Sadikin, sebagai contoh, hanya akan berhadapan dengan rakyat Jakarta yang sadar hukum. Karakter kepemimpinan yang tegas memang diperlukan, tetapi karakter itu mestinya dipayungi oleh hukum. Apalagi, demokrasi menjadi ciri masyarakat modern Indonesia, sehingga siapa pun tak lagi takut kepada presiden sekalipun.
Gubernur jenderal untuk Jakarta mungkin terdengar sumir. Atau antidemokrasi. Atau bias kolonial. Tidak ada masalah. Sebutan itu hanya mewakili imajinasi sejarah yang pernah ada, ketika Hindia Belanda dipimpin gubernur jenderal. Gubernur jenderal memang terdengar identik dengan jabatan kemiliteran, tetapi sekaligus juga hukum dan pembangunan. Gubernur jenderal adalah imajinasi tentang penataan dan keamanan, sekaligus juga hukuman, termasuk kepada sanak keluarga sendiri.
Gubernur jenderal juga simbol dari ketertundukan dan rasa hormat, ketika demokrasi semakin menjadikan kritik sebagai cambuk yang digunakan kapan saja untuk penguasa. Jalanan yang dipenuhi oleh para pelanggar lalu lintas, termasuk aparat yang menggunakan sirene, menyebarkan kebisingan yang memekakkan telinga. Bisa saja rakyat Jakarta menemukan calon gubernur yang memiliki hati. Tetapi hati saja, tanpa nyali, akan melemahkan ketegasan dan disiplin. Sebaliknya, gubernur yang hanya bernyali akan kehilangan sandaran ketika tak ada regulasi yang dijadikan sebagai sumber ketaatan.
Ketika calon-calon gubernur menjajakan program-programnya, bisa saja hanya bersifat imajinatif belaka, karena program-program itu tak bisa berjalan tanpa aturan. Hak prerogatif seorang Gubernur DKI Jakarta layak dimasukkan, tetapi tetap dengan kuasa pengawasan kepada DPRD Provinsi DKI Jakarta dan DPR RI. Saya kira, apabila posisi Gubernur DKI ditingkatkan "setara menteri", bisa jadi ia akan lebih leluasa mengadu argumen-argumennya dengan para anggota DPR RI. Berbarengan dengan itu, bisa saja DPRD DKI Jakarta tidak diperlukan lagi, hanya diubah menjadi semacam "Dewan Kota" atau "Dewan Provinsi" yang memiliki kewenangan lebih terbatas.
Dalam waktu 50 tahun, Jakarta sebagai provinsi mengalami perkembangan pesat. Dan bisa dibayangkan dalam 50 tahun lagi Jakarta sebagai ibu kota negara akan mengalami stagnasi, bahkan menjadi masalah bagi kita semua. Antisipasi di tingkat regulasi menjadi salah satu cara untuk menghindari itu. Semoga.
Indra J. Piliang, Ketua Balitbang DPP Partai Golkar