Drama politik baru muncul setelah dua koran Australia, The Age dan Sydney Morning Herald, memuat pemberitaan tentang Indonesia. Tidak tanggung-tanggung, sejumlah pejabat dan mantan pejabat negara disebut, begitu pula pengusaha dan politikus. Informasi yang disampaikan menyengat pihak Istana Negara, sehingga memunculkan sikap defensif sekaligus juga mengatakan bahwa apa yang ditulis adalah berita sampah.
Soal kredibilitas, kita tentu paham betapa The Age dan Sydney Morning Herald sudah mendapat tempat di hati rakyat Australia. Di zaman serba terbuka ini, konsumen kedua koran itu bukan hanya masyarakat Australia, tapi juga siapa pun yang bisa mengaksesnya via Internet. Tentu yang pertama adalah konsumen yang berbahasa Inggris. Sementara selama ini para aktivis Indonesia bersusah payah menyodorkan informasi yang layak diberitakan di luar negeri, sekarang justru pihak The Age dan Sydney Morning Herald sendiri yang berinisiatif memuat informasi yang diperoleh dari WikiLeaks.
Apa pula itu WikiLeaks? Banyak pihak kesulitan menempatkan WikiLeaks dalam khazanah informasi modern. Sebagian besar menganggapnya sebagai ancaman, sebagian yang lain justru menganggapnya sahabat. Masalahnya, apakah informasi yang dirilis WikiLeaks layak masuk dalam kualifikasi informasi akurat? Dalam arti sederhana: apakah data-data WikiLeaks bisa masuk dalam khazanah ilmu pengetahuan? Apakah dibenarkan, dalam menulis sebuah karya ilmiah, informasi WikiLeaks dimasukkan sebagai catatan kaki atau bibliografi?
Sebetulnya, ketika informasi dijadikan sebagai salah satu ikon dalam globalisasi, tidak perlu lagi ada kekagetan atas medium yang dipakai. Sebelumnya, terjadi kekagetan ketika film Hollywood tidak bisa lagi diputar di Indonesia, sehubungan dengan kenaikan cukai. Film, dalam konteks ini, juga bukan hanya sebagai seni atau hiburan, tapi juga berisi bermacam informasi yang dijadikan sebagai “alat propaganda”, misalnya. Karena itu, ketika bentuknya berubah menjadi WikiLeaks, layak dilihat sebagai “naskah film yang belum selesai”.
Apakah informasi yang disajikan WikiLeaks termasuk kategori rahasia negara? Sulit menempatkannya pada sisi itu, ketika justru WikiLeaks sedang mencoba melakukan proses penelanjangan global atas negara dan antarnegara. WikiLeaks adalah komunitas yang mengambil risiko fatal dengan cara dijadikan target serangan kelompok yang tidak menyukai.
Tetapi, sampai sejauh ini, belum ada pihak yang berhasil menempatkan komunitas pengelola WikiLeaks sebagai kriminal atau melanggar hukum.
Jadi, apa salah WikiLeaks? Rasa-rasanya berlebihan apabila informasi disalah-salahkan, apalagi atas nama nasionalisme sempit. Untuk urusan keluarga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, misalnya, jauh lebih detail informasi yang dicoba dikemas oleh George Junus Aditjondro dalam buku yang sangat terkenal: Gurita Cikeas. Buku yang sempat menjadi yang paling dicari ini, serta berharga mahal walau hanya fotokopian, memuat sejumlah nama orang, perusahaan, yayasan, dan lain-lainnya yang berkaitan dengan keberadaan keluarga Cikeas.
Tidak ada penyelidikan atau penyidikan resmi menyangkut informasi yang disampaikan oleh George dalam bukunya itu. Malahan, masalah pribadi mencuat ketika Ramadhan Pohan dari Partai Demokrat membuat laporan ke polisi terkait dengan insiden ketika buku Gurita Cikeas itu didiskusikan. Buku, untuk ukuran apa pun, masih dapat disebut sebagai karya ilmiah, ketimbang informasi yang diedarkan via Internet tapi belum diolah. Untuk menjawab kelemahan sebuah buku, biasanya diperlukan buku lain. Makanya, kisah Adolf Hitler atau Sukarno ditulis berkali-kali oleh orangorang yang sama atau berbeda sama sekali.
Reaksi Istana Negara hampir sama antara kasus buku Gurita Cikeas dan kasus berita yang dilansir oleh The Age dan Sydney Morning Herald. Hanya, untuk kasus terakhir tampaknya pemerintah menyerah. Selain beberapa pihak melakukan klarifikasi dengan hak jawab, misalnya, sama sekali tidak ada upaya untuk membongkar motif-motif yang sudah sengaja dituduhkan, misalnya motif politik atau ekonomi.Yang dilakukan justru mendelegitimasi keberadaan WikiLeaks, sekaligus The Age dan Sydney Morning Herald, yang dianggap tidak melakukan kerja-kerja jurnalistik.
Padahal kasus WikiLeaks ini adalah jalan yang tersedia untuk menguji-coba ketahanan bangsa ini dari terjangan informasi skala global. Anak-anak muda Indonesia semakin banyak yang mampu berbahasa Inggris dengan baik. Informasi yang dipungut dari jalanan akan terasa jauh lebih bernas apabila pihak Istana malahan menutup-nutupi diri. Begitu juga sejumlah politikus, pengusaha, ataupun pejabat yang disebut dalam kawat diplomatik yang dibocorkan WikiLeaks.
Akan sangat bermanfaat bila keterbukaan WikiLeaks dijawab dengan keterbukaan serupa, ketimbang mencoba mencari kambing hitam atas sesuatu yang sudah terlihat seputih kertas.
Kasus WikiLeaks, kasus informasi menyangkut keberadaan Republik Maluku Selatan di Belanda, kasus buku Gurita Cikeas, sampai kasus pencurian data yang dimiliki oleh staf Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Hatta Rajasa di Korea Selatan, semakin menunjukkan betapa pentingnya informasi. Infor masi bisa diserakkan di atas laptop yang butut maupun tersedia da lam rak-rak yang rapi di per pustakaan. Perburuan dan perebutan atas informasi ini akan menjadi bagian ter penting dari perebutan pe ngaruh di berbagai bidang, baik ekonomi, pertahanan, maupun politik.
Nah, kenapa sekarang justru kasus WikiLeaks ini seakan dicoba ditutup-tutupi? Semakin ditutup-tutupi, semakin sulit bagi bangsa ini untuk belajar menjadi bangsa yang rasional dan tidak sepenuhnya bergantung pada informasi-informasi resmi yang berisi propaganda.
Pengalaman Pemilu 2009 menunjukkan bagaimana informasi resmi dimanipulasi untuk kepentingan pencitraan dengan biaya yang mahal. Akan jauh lebih baik apabila yang diandalkan adalah publik yang rasional, bukan yang mudah diombang-ambingkan oleh secuil informasi yang datang dari luar negeri.
Pertanyaannya, bagaimana kalau WikiLeaks memiliki lebih banyak informasi lagi? Bagaimana kalau justru WikiLeaks memiliki kemampuan yang lebih dari sekadar informasi skala kecil di dua buah koran di Australia? Akankah WikiLeaks menjadi gurita informasi, bukan hanya sebatas buku sederhana Gurita Cikeas? Sebelum WikiLeaks datang dengan air bah informasinya, jauh lebih baik menghadapinya sekarang juga. Jauh lebih baik belajar cara memadamkan api ketika masih berupa lilin. Kalau sudah kebakaran skala besar, perlu banyak tenaga dan daya-upaya untuk belajar sekaligus memadamkan apinya.