Sejak mahasiswa, saya akrab dengan plakat. Semula, plakat itu saya sendiri yang membuat sebagai Organizing Committee beragam kegiatan di kampus. Bermacam-macam plakat yang saya buat, terutama dari kayu dan kaca yang dipesan di lapak-lapak kaki lima di sepanjang jalan Pasar Minggu hingga Depok. Bahkan, untuk mendapatkan harga murah, lapak-lapak itu juga saya cari ke Pasar Senen atau Jalan Dewi Sartika di seputaran Kalibata.
Banyak teman-teman sekampus yang masih ingat, betapa saya memiliki banyak map: bukan bahan kuliah, melainkan proposal beragam kepanitiaan.
Setelah mulai menjadi notulis, moderator dan lalu pembicara beragam kegiatan, sayalah yang menerima plakat-plakat itu. Cukup repot juga menyusunnya di kamar kost yang sempit. Ada beberapa yang saya bawa ke kampung untuk menunjukkan kepada orang tua, betapa “aktivis”-nya saya. Selain plakat, tentu saya menerima sertifikat. Dengan sertifikat itulah curriculum vitae (CV) disusun. Khusus untuk mahasiswa UI, CV itu masih ditambah dengan emblem. Kedua lengan jaket kuning saya penuh dengan emblem, begitu juga dengan bagian depannya. Yang saya banggakan adalah emblem “SMUI” yang berwarna putih, dengan dasar hitam, di dada kanan jaket kuning.
Maka jaket kuning adalah simbol pertama yang bisa dilihat dengan mata telanjang tentang betapa aktivisnya seseorang di UI. Jejeran emblem menunjukkan kegiatan apa saja yang diikuti. Setelah jadi senior, saya mulai menanggalkan emblem-emblem itu, hanya menyisakan beberapa saja. Kenapa? Karena semakin paham bahwa yang pakai emblem banyak barangkali hanya peserta satu kegiatan atau panitia biasa, bukan aktivis dalam makna memiliki pemikiran tertentu.
Setelah sempat aktif di DPD Partai Amanat Nasional Kabupaten Tangerang dan DPP Partai Amanat Nasional sepanjang tahun 1998-2000 saya juga menemukan bagaimana plakat dan sertifikat menjadi dominan. Lalu, saya meniti karier sebagai seorang kolomnis media massa. Pada 1 Desember 2000, saya masuk ke Centre for Strategic and International Studies (CSIS). Lalu, per 21 Januari 2001, saya mengundurkan diri dari Partai Amanat Nasional dengan cara menyerahkan kartu anggota dan sertifikat pelatikan sebagai Kader Utama Angkatan Pertama.
***
Nah, sepanjang aktivitas menjadi peneliti di CSIS inilah saya menerima plakat dalam jumlah yang banyak. Delapan tahun saya di CSIS, rata-rata mengisi lebih dari 50 seminar atau diskusi atau pelatihan dalam setahun. Bayangkan penuhnya ruang kerja saya dengan plakat demi plakat itu, dengan beragam bentuk. Kadang, dalam sehari saya menerima lebih dari satu plakat. Yang paling banyak tentu dari Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), karena saya berkeliling Indonesia untuk menghadiri beragam diskusi sampai Latihan Kader.
Dan plakat demi plakat itu juga yang saya terima sampai sekarang, bahkan setelah mengundurkan diri dari CSIS pada mulai tanggal 31 Desember 2008. Plakat hadir dalam banyak seminar, diskusi, pelatihan sampai pada forum-forum terbatas. Kementerian-kementerian negara dan perguruan tinggi menyumbang dalam jumlah banyak, begitu juga lembaga swadaya masyarakat. Kalau dibuat urutan “nilai” dari masing-masing plakat itu, tentulah akan kelihatan subjektivitas saya.
Belakangan saya sadar bahwa kehadiran plakat demi plakat itu makin mengganggu. Hal itu terjadi ketika saya menyusun buku-buku di lemari. Kehadiran plakat-plakat itu menghabiskan ruangan dalam lemari. Terpaksa sebagian besar disimpan dalam kontainer-kontainer. Nilainya hanyalah barang simpanan yang tak lagi bisa dilihat. Ia hilang begitu saja berteman kepengapan udara di dalam kontainer. Nilai simbolis sebagai penghargaan dan penghormatan itu tak lagi bisa disaksikan sewaktu-waktu.
Bayangkan para pembicara atau figur publik yang lain yang saya temui sejak jadi mahasiswa dan sampai sekarang masih suka berkeliling. Misalnya, Akbar Tandjung. Sosok ini barangkali adalah orang yang paling banyak menjelajahi Indonesia. Kesibukannya luar biasa, hanya dengan membaca undangan yang saya terima. Dan sebagian besar untuk HMI. Belum lagi dalam kegiatan di Partai Golkar ataupun organisasi kepemudaan yang mengundangnya. Dalam sehari, sampai hari ini, Akbar Tandjung menghadiri beragam kegiatan. Sendirian naik turun pesawat dan mobil ke beragam daerah, mulai dari ibukota provinsi, sampai ke pelosok-pelosok kabupaten dan kecamatan.
Saya tak bisa membayangkan, sudah berapa banyak plakat yang dimiliki oleh Bang Akbar Tandjung. Barangkali, kalau dibuat museum khusus plakat, Bang Akbar memiliki sebagian besar dari plakat-plakat itu. Sebuah rumah perlu dibangun khusus untuk menyimpannya. Parade dari plakat-plakat itu menunjukkan kesibukan dinamika kesehariannya sejak dulu, sampai sekarang, ketika era plakat dimulai dan belum diakhiri.
***
Saya mulai berpikir – lalu sekarang berkampanye – agar era plakat ini diakhiri. Dalam Latihan Kader III Badko HMI Riau-Kepri di Pekanbaru, tanggal 28 November 2011, saya sudah sampaikan ke panitia: “Nanti kalau diundang lagi, saya tak mau menerima plakat!” Saya menyampaikan kesulitan untuk membawanya di pesawat. Dari Kalimantan, misalnya, saya pernah menerima mandau. Dari Papua, saya menerima koteka dan pernak-pernik burung kasuari. Dari Aceh, saya menerima rangkaian rencong. Dan bayangkan kerepotannya, karena harus dititip sama pramugari dan tidak bisa masuk bagasi pesawat, karena bisa rusak.
Plakat memang berharga sebagai simbol budaya. Namun, alangkah baiknya plakat demi plakat itu, kalaupun tetap diberikan, dibuat dalam ukuran mini dan moderen, hanya duplikasi. Tidak perlu lagi memanah seekor burung untuk diambil bulunya, lalu dirangkai menjadi plakat. Tidak perlu lagi menangkap seekor ular atau buaya, lalu dijadikan plakat eksklusif yang nyatanya menghancurkan masa depan dunia hewan. Dan yang penting, tidak perlu lagi merusak budaya untuk dianggap bisa menyerahkan secara simbolis kepada para tamu dari luar.
Saya merasa bersalah kepada alam dan lingkungan, ketika plakat demi plakat yang berasal dari alam hadir di ruang pribadi saya. Maka, idealnya, kesadaran berplakat ini mestinya diganti ke kesadaran lain, yakni melestarikan alam dan lingkungan, tetapi sekaligus mengkampanyekan bukan dalam bentuk plakat. Ini memang masalah sederhana, kalau disederhanakan. Tetapi juga bisa menjadi tak lagi sederhana, ketika masuk dalam bingkai kebudayaan. Memberi plakat, dalam ranah budaya, bisa jadi adalah fase penghancuran budaya itu sendiri.
Lalu apa yang bisa menggantikan plakat? Buku-buku. Ya, terutama buku-buku yang tak mudah didapatkan di toko-toko buku besar di Jakarta. Biasanya, saya selalu menyempatkan diri untuk mencari buku-buku lokal itu, terutama di toko buku bandara. Namun, seringkali saya sulit menemukannya. Dengan bertebarannya para ilmuwan, seniman dan penulis di banyak daerah, saya yakin pastilah ada buku-buku yang diterbitkan, tanpa sempat dipasarkan secara moderen. Nah, alangkah baiknya souvenir berupa buku itu menjadi tradisi baru dalam ranah intelektual.
Dengan buku yang dijadikan sebagai souvenir kepada para narasumber seminar, akan menyebarluaslah ilmu pengetahuan. Sekalipun buku tergeletak di dalam lemari, dalam waktu-waktu tertentu, pastilah akan dibuka untuk dibaca guna kebutuhan informasi. Mengganti plakat dengan buku adalah tugas penting untuk mengubah satu tradisi yang berkembang jadi budaya di kalangan mahasiswa dan pencerna ilmu pengetahuan. Sekian.