Tahun 2008, ada laporan masyarakat ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tentang penyerahan cek pelawat senilai Rp 9,8 miliar kepada sejumlah anggota DPR RI periode 1999-2004 terkait pemilihan Dewan Gubernur Senior Bank Indonesia (DGS BI) tahun 2004. Dari hasil penyelidikan, KPK menyimpulkan penyerahan cek pelawat itu berkaitan dengan pelaksanaan kewenangan, tugas, dan hak anggota DPR RI memilih DGS BI 2004.
Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menyatakan, “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”
Tindakan hukum pimpinan KPK hanya terhadap sebagian dari ‘penerima’ alat bukti berupa cek pelawat tahun 2004 – dari Partai Golkar, PDIP dan PPP – dengan (a) mencekal (travel ban), (b) memblokir rekening, (c) menahan, (d) mendakwa, dan (e) menetapkan tersangka, tanpa menerapkan tindakan hukum setara dengan ‘penerima’ lainnya yang berasal dari partai politik lain, membuktikan bahwa (i) KPK berisiko melanggar Pasal 27 ayat (1) UUD 1945; (ii) melakukan praktek diskriminasi hukum, dan (iii) melanggar Pasal 5 ayat (a) UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK.
Bahwa dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, KPK berasaskan pada kepastian hukum. KPK tidak menjunjung tinggi prinsip equity before the law (kesetaraan di hadapan hukum) Karena, total penerima cek pelawt pada tahun 2004 mencapai 59 anggota DPR RI. (Kompas, 29/1’11)
Dari fakta-fakta hukum terungkap di depan Pengadilan Tipikor atas kasus dugaan suap dalam pemilihan DGS bahwa cek pelawat yang keliru disangka sebagai alat bukti suap itu berasal dari sayap partai politik di DPR, bukan Komisi DPR RI.
Secara legal opinion, tidak ada unsur kerugian negara dalam penggunaan dana negara dalam cek pelawat tersebut. Dan, KPK keliru memilih dan menerapkan UU dalam kasus ini. Karena, KPK mengabaikan sejumlah fakta hukum kunci, yakni (1) pemilik cek pelawat, (2) pemberi cek pelawat, (3) motif, (4) kapan (tempus delicti), (5) tempatnya (locus delicti), dan lain-lain.
UUD 1945 hasil amandemen tahun 1999-2002 telah menetapkan kekuasaan, fungsi, dan hak-hak DPR RI secara kelembagaan dan sebagai anggota. DPR RI memegang kekuasaan membuat UU (Pasal 20 UUD 1945, hasil amandemen tahun 1999), memiliki fungsi legislasi, pengawasan, dan anggaran (Pasal 20 ayat 1 UUD 1945, hasil amandemen tahun 2000) serta memiliki 3 (tiga) hak konstitusional, interpelasi, angket, dan menyatakan pendapat. (Pasal 20A ayat 2 UUD 1945)
Masing-masing anggota DPR RI juga memiliki hak-hak konstitusional, yaitu hak mengajukan pertanyaan, usul, dan pendapat, serta hak imunitas. (Pasal 20A ayat 3 UUD 1945, hasil amandemen tahun 2000) DPR RI sebagai penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Pertama, dalam pemilihan DGS BI tahun 2004, penggunaan ‘hak pendapat’ masing-masing anggota DPR RI tunduk pada arahan dan keputusan fraksi masing-masing partai politik. Karena, legitimasi anggota DPR periode 1999-2004 berasal dari partai politik secara langsung dan tidak langsung melalui Pemilu 1999.
Jadi, anggota DPR RI tidak melakukan penyalahgunaan kewenangan dalam pemilihan DGS BI tahun 2004. Dalam hal ini, secara legal, keputusan fraksi adalah ‘alat bukti’ utama, apakah ada penyalahgunaan kewenangan atau tidak. Kedua, KPK mengabaikan alat bukti berupa keputusan fraksi. Misalnya, fakta bahwa hukum ialah (a) keputusan Fraksi PPP tidak memilih Miranda S Gultom; (b) Anggota DPR RI diberi cek pelawat. Artinya, alat bukti yang keliru disangka sebagai korupsi itu sama sekali tidak berhubungan dengan jabatan, tidak bertentangan dengan kewajiban dan tugasnya anggota DPR RI dari Fraksi PPP.
Jadi, tidak melanggar ketentuan Pasal 12B ayat 1 No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi. Tetapi, KPK menetapkan sejumlah anggota DPR RI dari Fraksi PPP sebagai tersangka dan terdakwa.
Fakta hukum lainnya: (a) sejumlah anggota Fraksi PDIP diberi cek pelawat oleh Bendahara Fraksi, bukan Komisi; sesuai arahan dan keputusan pimpinan Fraksi PDIP, Mei 2004, anggota-anggota Fraksi PDIP memilih Miranda S Gultom tahun 2004.
Tindakan KPK menetapkan anggota F-PDIP yang diberi cek pelawat, sebagai tersangka, terdakwa, rekeningnya diblokir, dicekal, dan ditahan.
Ketiga, Pasal 6 (c) UU no. 30 Tahun 2002 tentang KPK menyebutkan ‘tugas KPK’ ialah melakukan penyelidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Sedangkan Pasal 6 (c) UU No 30 Tahun 2002 menyatakan bahwa ‘tugas’ KPK adalah melakukan monitoring terhadap penyelenggaraan pemerintahan Negara.
Pasal 11 UU No 30 tahun 2002 menyatakan bahwa dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang: (a) melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara. Secara legal opinion, KPK lalai melakukan tugasnya yaitu melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap ‘orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi’.
Mereka adalah (1) pemilik cek, (2) pemberi cek dalam kasus ini karena tidak mengusutnya. KPK melanggar Pasal 27 ayat (1) UUD 1945: (ii) melakukan praktek diskriminasi hukum, (iii) melanggar Pasal 5 ayat (a) UU No 30 tahun 2002 tentang KPK yang menyatakan bahwa ‘Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, Komisi Pemberantasan Korupsi berasaskan pada: (a) kepastian hukum.
Aliran cek pelawat berasal dari fraksi, salah satu parpol sebagai organisasi yang sah, bukan organisasi kriminal, bukan pula organisasi terlarang dan fungsi-fungsinya diakui legal di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Di depan Pengadilan Tipikor terungkap bahwa ada penerima cek pelawat yang menggunakan dana itu untuk kebutuhan kampanye Pilpres 2004.
Hanya UU tentang Parpol, khususnya keuangan partai yang dapat diterapkan dalam kasus ini dan bukan UU Tipikor. Sebab, tidak relevan KPK mempertanyakan penggunaan dana cair dari cek pelawat. Para penerima hanya berkewajiban mempertanggungjawabkan kepada fraksi atau partai masing-masing dalam skema dan aturan main keuangan partai politik.
Dhus, kesimpulannya: KPK keliru memilih dan menerapkan UU (choice of law) dalam kasus ini karena mengabaikan sejumlah fakta hukum kunci, seperti (a) asal usul cek pelawat, (b) pemilik cek pelawat, (c) pemberi cek pelawat, (d) motifnya, dan lain-lain. ***