Apa pun alasannya, pengeboman kota Tripoli dan kota-kota lain di Libya oleh pasukan koalisi tidak dapat dibenarkan, bahkan harus dikecam keras. Aksi pasukan koalisi itu bukan saja merupakan pelanggaran terang-terangan terhadap kedaulatan negara merdeka, tetapi juga pelanggaran berat hak asasi manusia (HAM) karena telah menewaskan warga sipil Libya.
Padahal serangan pasukan koalisi yang terdiri dari Prancis, Inggris, dan Amerika Serikat (AS) itu dengan dalih melaksanakan mandat PBB untuk menjamin terlaksananya zona larangan terbang dan melindungi warga sipil Libia. Namun, alih-alih melindungi, yang terjadi justru makin banyak warga Libia menjadi korban.
Karena itu, pengeboman oleh pasukan koalisi harus segera dihentikan. Dewan Keamanan PBB harus mendesak negara-negara koalisi agar menghentikan aksi mereka. Jangan biarkan negara-negara kuat menghakimi dan seenaknya melakukan tindakan sepihak terhadap negara yang lebih kecil dengan alasan untuk mengatasi gejolak dan melindungi warga sipil.
Indonesia yang menjalin hubungan baik dan bersahabat dengan Libya, negara-negara Arab, dan Afrika, serta juga mempunyai hubungan baik dengan negara AS, Inggris, Prancis, dan negara-negara Eropa, harus mengambil prakarsa cepat untuk menghentikan serangan pasukan koalisi dan tidak digantikan oleh pasukan NATO.
Pada saat yang sama, Indonesia perlu mendesak agar pemerintahan Moamar Khadafy dan pihak oposisi Libya yang sudah bersenjata segera melakukan gencatan senjata dan berdialog serta berunding, mengupayakan penyelesaian secara damai atas krisis Libya. Kalau diperlukan dan dikehendaki oleh kedua pihak, dapat diundang mediator dari Liga Arab, OKI, dan GNB (Gerakan Non-Blok).
Kalau yang dipertaruhkan adalah eksistensi dan peradaban Libya, rasanya rakyat Libya, baik oposisi maupun Khadafy, harus memilih duduk berdialog dan berunding mencari solusi secara damai. Sudah tentu sangat mungkin dalam dialog itu, oposisi mendesakkan agar Khadafy mundur sebagaimana diekspresikan lewat aksi demonstrasi damai oleh rakyat Libia hampir dua bulan terakhir ini. Khadafy harus menghadapi kenyataan itu dan merespons secara positif. Barangkali melalui dialog, rakyat Libya dan Khadafy dapat menemukan save exit yang mulus bagi Khadafy, tanpa kekerasan dan darah.
Apabila dalam waktu singkat ini upaya dialog tidak dikehendaki oleh pemerintahan Khadafy, dan malah Khadafy berkeras menindas dan membunuh rakyatnya dengan risiko perang saudara yang berkepanjangan, maka masyarakat internasional harus menunjukkan tanggung jawabnya dengan intervensi militer. Ini untuk memaksakan gencatan senjata dan mengadakan perdamaian, yang dalam istilah PBB disebut sebagai peace-making mission.
Dan, itu dapat dilakukan oleh PBB karena diatur dalam Piagam PBB, yaitu apabila dalam satu negara terjadi pembunuhan massal (genocide), atau konflik bersenjata berkepanjangan yang mengancam hidup dan kehidupan rakyatnya. Dalam situasi seperti ini, jangan biarkan negara-negara lain mengambil tindakan sepihak seperti yang terjadi dalam serangan pasukan koalisi. Dewan Keamanan PBB-lah yang harus segera bersidang dan membentuk pasukan PBB dan masuk Libia untuk melaksanakan operasi perdamaian.
Untuk merekrut pasukan PBB seperti itu juga sudah ada standarnya. Biasanya kontributor personel pasukan direkrut dari negara kawasan (Arab, Afrika Utara), dan Eropa. Bukan negara besar, agar terhindar dari sentimen kesemena-menaan penindasan dari negara kuat, serta terjamin bebas dari kepentingan minyak, misalnya, seperti yang banyak diduga belakangan ini.
Semoga yang terbaik bagi rakyat dan negara Libya-lah yang akhirnya dalam waktu tidak terlalu lama menjadi kenyataan.