Dalam sebuah acara televisi beberapa pekan lalu, saya menyampaikan sejumlah hal berkaitan dengan dana partai politik. Sinisme dan kritik publik begitu kuat menyangkut pendanaan partai politik. Beragam informasi disampaikan secara diam-diam ataupun terang-terangan, menyangkut modus partai politik dalam mendapatkan dana partai. Dan kebanyakan modus itu negatif.
Sejumlah survei juga menempatkan partai politik sebagai lembaga yang dianggap paling korup. Pertanyaan survei ini tentu perlu diverifikasi lagi. Apakah terkait dengan pertanggung-jawaban keuangan di dalam partai politik ataukah apabila berurusan dengan partai politik memerlukan sejumlah dana tertentu? Atau justru partai politik menjalankan peran, baik langsung atau tidak langsung, sebagai perpanjangan tangan dari mata rantai korupsi yang terkait dengan dana negara?
Partai politik adalah entitas palingkuat yang diberikan kewenangan dalam UUD 1945 hasil amandemen. Kewenangan itu melintasi tiga lembaga, yakni eksekutif, legislatif dan yudikatif. Hanya partai politik yang berhak mencalonkan presiden dan wakil presiden dan duduk di lembaga legislatif pusat dan daerah (kecuali Dewan Perwakilan Daerah). Legislator juga memiliki peranan penting dalam keseluruhan proses bernegara. Besarnya kekuasaan yang dimiliki DPR RI, misalnya, menyebabkan konstitusi disebut terlalu DPR-sentris (legislative heavy). Ujung dan pangkal dari semua itu adalah partai politik.
Besarnya peranan partai politik dalam kehidupan ke-(tata)-negaraan yang diberikan konstitusi, tentu harus diimbangi dengan kinerja partai politik. Sayangnya, partai politik kian hari kian disudutkan pada posisi negatif. Barangkali memang karena perilaku segelintir elite politik yang terlibat dalam masalah hukum, tetapi bisa juga karena kemampuan partai politik yang terbatas dan lemah.
Besar Anggaran
UU No 2 tahun 2011 tentang Partai Politik memberikan batasan penerimaan sumbangan, baik perseorangan maupun perusahaan. Kriteria perseorangan itu adalah bukan anggota partai politik yang bersangkutan. Besarannya Rp 1 Milyar per tahun anggaran. Sementara perusahaan atau badan usaha dibatasi Rp. 7,5 Milyar per tahun anggaran. Yang tidak dibatasi adalah sumbangan anggota partai politik yang bersangkutan. Jadi, bisa saja seorang anggota menyumbang Rp 1 Trilyun per tahun anggaran.
Sementara sumbangan dari anggaran negara dibatasi berdasarkan kemampuan keuangan dalam APBN dan APBD. Perhitungannya berdasarkan jumlah suara yang diperoleh dalam pemilu sebelumnya (9 April 2009). Informasi yang beredar, Keputusan Menteri Dalam Negeri menyebutkan angka Rp. 108,- per suara per tahun anggaran. Dalam perhitungan kasar saja (dikalikan dengan Rp. 100,-), apabila jumlah suara sah dalam pemilu 2009 mencapai angka 104.099.785, maka total anggaran negara yang diberikan kepada partai politik lebih dari Rp. 10.409.978.500. Namun, jangan lupa, partai politik yang dapat APBN dan APBD hanyalah yang mendapatkan kursi di DPR dan DPRD.
Karena itu, dengan jumlah total suara sembilan partai politik di DPR yang hanya 85.051.132, maka total APBN yang diberikan kepada partai politik di DPR adalah sebanyak Rp. 8.505.113.200,- (dengan asumsi dikalikan Rp.100,-). Kalau dibulatkan lagi sekitar Rp. 8,5 M per tahun anggaran. Partai Demokrat mendapatkan sekitar Rp. 2,1 M, sementara Partai Golkar mendapatkan sekitar Rp. 1,5 M. Angka ini tentu berbeda di masing-masing DPRD Provinsi, Kabupaten dan Kota. Besarannya tergantung kepada perolehan masing-masing partai politik, termasuk partai politik yang tidak memiliki kursi di DPR RI.
Jika dikaitkan dengan jumlah APBN yang sekitar Rp. 1.200 Trilyun, total anggaran yang diberikan kepada partai politik tidak sampai mencapai angka 0,01%. Dari sisi ini, kurang tepat kalau partai politik menjadi pihak yang selalu disudutkan sebagai penyebab dari kekurang-berhasilan mencapai tujuan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sekalipun memiliki kewenangan yang besar dalam konstitusi, partai politik bukanlah pihak yang “mencari makan” dari sisi anggaran. Masalah ini patut disampaikan secara luas.
Tentu angka-angka yang ada di atas masih angka normatif. Angka riilnya dihitung lagi berdasarkan APBN dan APBD. Taruhlah angka Rp. 8,5 M dikalikan 3 (untuk DPRD provinsi dan DPRD kabupaten atau DPRD kota), maka terdapat angka Rp. 25,5 M dari APBN dan APBD per tahun anggaran. Angka-angka itulah yang diaudit dan dilaporkan kepada pihak yang memeriksa, dalam hal ini Badan Pemeriksa Keuangan. Sementara, anggaran pemilu dilaporkan kepada pihak Komisi Pemilihan Umum.
Bagaimana dengan dana publik, termasuk iuran anggota? Anggaran itu diaudit oleh akuntan publik dan diumumkan secara periodik setiap satu tahun. Yang diaudit itu meliputi laporan realisasi anggaran partai politik, laporan neraca dan laporan arus kas. Selain itu, pertanggung-jawaban anggaran itu tentu dilaporkan kepada anggota dan pengurus partai politik, dalam setiap kali Kongres, Munas atau Mukhtamar yang dihelat oleh partai politik.
Kegunaan Anggaran
Lalu, kemana anggaran yang diperoleh dari negara itu mengalir? Undang-undang mengatur bahwa anggaran itu diprioritaskan untuk melaksanakan pendidikan politik bagi anggota Partai politik dan masyarakat. Adapun materi pendidikan politik itu berkaitan dengan kegiatan pendalaman mengenai empat pilar berbangsa dan bernegara yaitu Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Materi pendidikan politik yang lain adalah pemahaman mengenai hak dan kewajiban warga negara Indonesia dalam membangun etika dan budaya politik, serta pengkaderan anggota Partai politik secara berjenjang dan berkelanjutan.
Kalau dilihat dari intensitas kegiatan masing-masing partai politik, tentulah anggaran yang diberikan negara relatif kecil. Apalagi bagi partai politik yang hampir setiap pekan melakukan kegiatan. Belakangan, muncul anggapan penting dalam era demokrasi, yakni politisi adalah kelompok yang selalu memiliki uang. Apalagi yang memiliki status sebagai legislator atau pejabat politik di eksekutif, seperti menteri atau kepala daerah. Proposal menumpuk datang dan menunggu jawaban.
Darimana partai politik menutupi kekurangan anggaran? Mayoritas membebankan kepada legislator atau yang menjadi pejabat (politik) di eksekutif. Potongan gaji sudah pasti. Walau ketentuan ini tidak ada dalam undang-undang, prakteknya dilakukan di semua partai politik. Hal inilah yang kemudian memicu munculnya kasus-kasus korupsi atau penyalah-gunaan jabatan. Politisi menjadi perpanjangan tangan dari mata rantai yang tersembunyi dalam urusan tender proyek-proyek pemerintah. Selain itu, politisi juga menjadi bagian yang penting dalam kehidupan korporasi.
Beratnya beban politisi jarang diketahui. Terutama politisi yang sama sekali tidak berlatar-belakang kelompok kelas menengah dan kelas elite, terutama dari sisi ekonomi. Bahwa demokrasi dilahirkan oleh kaum borjuis sudah diketahui, namun di Indonesia tidak semua politisi yang menjadi pelaku kehidupan demokrasi berasal dari kelompok ini.
Pada gilirannya, bagi siapapun warga negara yang memiliki kualifikasi untuk menjadi penyelenggara negara, akan sulit memasuki kehidupan politik praktis apabila tidak memiliki uang. Apa yang mesti dilakukan untuk mengatasi soal seperti ini? Yang sederhana adalah mengefisienkan ongkos demokrasi. Bagaimana caranya? Mari kita pikirkan bersama.