Setelah hampir dua tahun Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II yang dipimpin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Wakil Presiden Boediono berjalan,suara kekecewaan masyarakat makin riuh terdengar. Bahkan berdasarkan salah satu survei didapatkan kenyataan rakyat yang bernostalgia dengan masa Orde Baru.Yang dirindukan bukan masa kelam demokrasi, melainkan kenyamanan menjalani hidup dengan kondisi perekonomian yang baik.
Berkaca dari kenyataan itu, sebenarnya tuntutan rakyat sangat sederhana, yaitu berhubungan dengan kesejahteraannya. Dan satu-satunya alasan kekecewaan rakyat adalah rakyat menuntut Presiden SBY memberikan bukti (bukan janji) bahwa pemerintahan mereka prorakyat.
Bagi rakyat, gaya memerintah dan target perubahan bukan persoalan yang urgen. Rakyat yang tiap hari harus banting tulang untuk memenuhi kebutuhan ekonomi tidak peduli siapa menteri yang akan diganti selama memang bisa memberikan perbaikan bagi kehidupan mereka. Ketika menjelaskan target dari rencana reshuffle kabinet padabulan Oktober mendatang, kantor kepresidenan menjelaskan bahwa Presiden berniat menerapkan gaya baru dalam pemerintahannya. Seperti apa gaya baru itu, rakyat diharapkan menunggu saja. Mungkin akan tecermin dari formasi baru kabinet. Dijelaskan bahwa gaya baru itu diperlukan untuk mengakselerasi perubahan.
Gaya memerintah adalah persoalan SBY sendiri yang mestinya tak perlu dibawa ke atau diwacanakan di ruang publik. Kalau SBY ingin menerapkan gaya baru dalam pemerintahannya, berarti ada masalah dengan gaya pemerintahannya saat ini. Sejauh ini, publik hanya paham bahwa pemerintahan sekarang lamban dalam merespons berbagai soal. Beberapa kementerian bahkan terbelit skandal korupsi. Ini menjadi salah satu indikator buruknya masalah penegakan hukum. Sementara para ekonom menilai pembangunan ekonomi tidak memiliki arah yang jelas.
Perencanaan lemah, tanpa prioritas, danproses pengambilan keputusan pun lemah. Karena memprioritaskan harmoni dengan komunitas internasional,Pemerintahan SBY-Boediono meliberalisasi sistem ekonomi dan pasar dalam negeri.Liberalisasi ekonomi bukanlah sebuah kebijakan yang harus disalahkan. Kelemahan pemerintahan ini dalam mengadopsi prinsip- prinsip pasar bebas terletak pada ketidakmampuannya menguatkan posisi tawar. Padahal, penguatan posisi tawar mutlak diperlukan untuk menjaga dan melindungi kepentingan nasional.Semua raksasa ekonomi dunia berkepentingan dengan Indonesia karena negara ini pasar yang sangat besar.
Bayangkan, di tengah ketimpangan pendapatan per kapita yang begitu mencolok, produk impor apa yang tidak terjual di pasar Indonesia? Dari produk high tech hingga alas kaki, semuanya bisa diserap konsumen kita. Tapi, nilai tambah apa yang didapatkan Indonesia untuk memperkuat potensi ekonomi rakyat (UMKM) dari liberalisasi perekonomian nasional itu? Nyaris nihil.Terjadi banjir produk impor dan pemerintah diam saja. Padahal banjir produk impor itu membunuh potensi ekonomi rakyat.Semua ini terjadi karena pemerintahan SBY-Boediono membiarkan negara di posisi tawar yang lemah.
Negara dengan posisi tawar yang lemah ini sudah terikat dalam sejumlah perjanjian perdagangan bebas dengan begitu banyak negara mitra dagang Kalau formasi baru KIB II ingin mengakselerasi perubahan, idealnya adalah perubahan kebijakan di bidang ekonomi. Agenda utamanya adalah koreksi terhadap semua perjanjian perdagangan bebas itu. Tujuan dari koreksi itu tak lain adalah revitalisasi potensi ekonomi rakyat atau UMKM. Pemerintahan SBY harus berambisi menaikkan daya saing produk UMKM guna menekan masuknya produk impor.
Dengan akselerasi perubahan kebijakan ekonomi itu, nilai tambah yang didapat bukan hanya terpupuknya kemandirian dan berkurangnya ketergantungan, tapi juga terciptanya lapangan kerja di seluruh pelosok karena terciptanya pusat-pusat pertumbuhan baru.
Kapabilitas
Namun, persoalannya akan kembali pada pertanyaan mengenai kapabilitas formasi baru KIB II mengakselerasi perubahan.Berbagai kalangan sudah melihat reshuffle tak lebih dari sekadar mengganti figur menteri. Reshuffle KIB II tak akan membuahkan perubahan signifikan. Niatan menerapkan gaya pemerintahan baru untuk mengakselerasi perubahan tak akan bisa mengatasi semua persoalan bangsa yang mengemuka dewasa ini. Bahkan, terlalu berlebihan jika kita mengharapkan adanya akselerasi perubahan dari formasi baru KIB II pasca reshuffle.Gerbong boleh baru.
Tapi,kalau lokomotifnya masih sama, bagaimana mungkin mengharapkan ada akselerasi? Terlalu banyaknya utang janji yang belum dipenuhi pemerintahan Presiden SBY-Wapres Boediono sudah membuat rakyat pesimistis. Ada dua faktor yang menumbuhkan pesimisme itu. Pertama, kepercayaan rakyat terhadap pemerintahan ini riilnya sudah mendekati titik nol. Tidak ada lagi yang bisa diharapkan karena masa bakti pemerintahan ini sudah senja alias mendekati akhir.
Kedua, pemerintahan SBYBoediono sudah terperangkap beragam dimensi persoalan; dari kegagalan menegakan hukum, kegagalan memelihara ketertiban umum, kegagalan melindungi kepentingan nasional di sektor ekonomi hingga kegagalan menyejahterakan rakyat. Akselerasi perubahan pasca-reshuffle KIB II ibarat angin surga atau janji ketika masa bakti pemerintahan ini masuk injury time. Berambisi berbuat banyak ketika waktu yang tersisa tidak banyak lagi. Jangan-jangan janji perubahan itu sekadar upaya pencitraan. Waktu tiga tahun memang terdengar cukup lama.
Namun, jika rentang waktu itu dihadapkan dengan tumpukan persoalan yang menggunung, tiga tahun itu terasa amat singkat. Maka, tak perlu mengumbar janji mengenai akselerasi perubahan itu. Apa yang hendaknya menjadi fokus presiden setelah mereshuffle KIB II? Paling utama meningkatkan efektivitas pemerintahan. Kedua, pulihkan independensi institusi penegak hukum.
Terbitkan payung hukum penghapusan remisi bagi narapidana koruptor. Ketiga, agar rakyat merasa pemerintahan SBY prorakyat, Presiden harus peduli dan proaktif mengendalikan harga kebutuhan pokok.●