Dinamika politik kontemporer terlalu banyak berasal dari pusat. Ruang publik terasa sesak oleh jenis perbincangan apa pun yang berasal dari pusat. Konsentrasi media massa yang berada di Jakarta turut membawa skema pusat ke daerah.
Kehadiran acara atau program televisi yang menggali kekayaan (budaya, ekonomi, dan sosial) daerah turut membantu persebaran informasi tentang daerah. Hanya, lagi-lagi, seleranya bergantung kepada pekerja televisi yang berada di belakang kamera dan ruang produksi.
Tidak terasa perjalanan otonomi daerah sudah berlangsung selama satu dekade, tepatnya setelah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah diundangkan, lalu diberlakukan pada 1 Januari 2001. Perjalanan yang sangat layak dievaluasi. Evaluasi menjadi penting karena salah satu buah transisi demokrasi adalah otonomi daerah. Selama satu dekade ini juga tarik-menarik di antara desentralisasi kontra-resentralisasi selalu terjadi. Kasus terakhir menyangkut Undang-Undang tentang Keistimewaan Yogyakarta.
Sekadar mengulangi, pemerintah pusat kini tinggal menjalankan kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, peradilan, moneter, fiskal, agama, dan kewenangan di bidang lain. Kewenangan bidang lain itu meliputi perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam dan teknologi tinggi yang strategis, konservasi, serta standardisasi nasional.
Di luar itu adalah kewenangan (yang diberikan ke) daerah, misalnya di bidang pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, dan lingkungan hidup. Kalau ditelusuri lebih dalam, hampir segala sesuatu yang diberikan (beban ke) daerah itu adalah ciri-ciri (pencapaian) negara kesejahteraan (welfare state). Apa yang disebut sebagai Indeks Pembangunan Manusia (IPM) juga berdasarkan indikator kewenangan yang diserahkan ke daerah, yakni pendidikan, kesehatan, dan ketenagakerjaan.
Sementara itu, kewenangan yang tersisa di pusat adalah apa yang dikenal sebagai “negara penjaga malam” atau disebut juga sebagai negara hukum (rechtstaat). Apa yang termaktub dalam undang-undang ini semakin menegaskan lagi bahwa Indonesia memang bukan negara kekuasaan (machstaat), melainkan negara hukum, sebagaimana perdebatan yang muncul ketika Undang-Undang Dasar disusun oleh pendiri negara.
Dari sisi ini, terlihat betapa apa yang disebut sebagai penyelenggara negara (pusat) sama sekali tidak (banyak) terlibat lagi dalam mencapai konsep welfare state. Kewenangan pusat di bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, peradilan, agama, serta moneter dan fiskal semakin menunjukkan konsep negara penjaga malam itu. Ditambah lagi dengan standardisasi nasional dalam sistem negara kesatuan. Hal-hal yang bersifat dualisme sistem politik, sistem ekonomi, dan lainnya diselesaikan oleh pemerintah pusat.
Masalahnya, selama satu dekade ini justru pemerintah pusat seperti enggan memberikan secara penuh otonomi pemerintahan ke tingkat daerah. Pusat masih menganggap bahwa otonomi itu adalah pemberian. Sebaliknya, bagi daerah, otonomi adalah hak. Dan hak itu sama sekali bukan didasarkan pada asumsi-asumsi berdasarkan sejarah pendirian dan perjalanan negara Republik Indonesia, tapi termaktub dalam UUD 1945. Artinya lagi, otonomi sebagai hak daerah bersifat konstitusional.
Karena otonomi adalah hak daerah, ditambah dengan kejelasan betapa konsep welfare state dijalankan oleh daerah, mau tidak mau hegemoni pusat dalam banyak hal perlu didudukkan kembali. Birokrasi, misalnya, selama ini adalah bagian penting dari mata rantai pemerintahan yang dikendalikan oleh pemerintahan pusat. Sekalipun mulai muncul wacana soal moratorium (jumlah) pegawai negeri sipil, tetap saja selama ini beban anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk membiayai birokrasi mencapai angka 70-80 persen.
Sejak awal, banyaknya jumlah pegawai ini sudah dikritik oleh Mohammad Hatta. Dalam hal ini, termasuk kesenjangan gaji antarpegawai pemerintah tertinggi sampai terendah. Salah satu “korban” kebijakan Mohammad Hatta dalam hal reformasi birokrasi adalah restrukturisasi dan rasionalisasi jumlah tentara. Sebagian dari tentara (laskar rakyat) yang dirasionalisasi inilah yang terlibat dalam pemberontakan di Madiun pada 1948. Banyaknya jumlah pegawai pemerintah (pusat) menjadi beban anggaran negara. Untuk Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia saja, misalnya, terdapat kurang-lebih 40 ribu pegawai negeri sipil yang “melayani” satu orang menteri.
Bayangkan, betapa sesaknya Jakarta sebagai ibu kota negara dengan gedung-gedung perkantoran. Sementara itu, Kabupaten Padang Pariaman, misalnya, memiliki jumlah pegawai negeri lebih dari 8.000 orang. Hubungan kerja antara birokrasi di level pemerintah daerah dan pemerintah pusat inilah yang menjadi jalur kerumitan rantai birokrasi. Ketika Jakarta bermasalah dengan kemacetan, misalnya, orang-orang yang berada di tengahnya, termasuk para pegawai pemerintah, terkena getah kemacetan ini. Gedung-gedung tinggi yang dimiliki beragam kementerian di Jakarta dihuni oleh jutaan pegawai. Ironisnya, publik yang dilayani oleh pegawai-pegawai pusat ini berada di daerah.
Sebagai buah dari reformasi, otonomi sudah berjalan pada tataran konseptual dan praktek pemilihan langsung kepala daerah. Dewan perwakilan rakyat daerah juga lebih memiliki (sedikit) kewenangan dibandingkan dengan sebelum berlakunya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (sekarang UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah). Namun ada satu tuntutan reformasi lagi yang sama sekali belum tersentuh, yakni reformasi birokrasi. Kalau tidak diperbaiki, seluruh kelemahan dan kesalahan pelaksanaan reformasi (termasuk otonomi) selalu ditujukan kepada politikus yang datang dan pergi. Adapun birokrasi yang menetap dan mendapatkan hak pensiun sama sekali tidak dijadikan sasaran masalah.
Ketika welfare state tidak tercapai, daerah dengan mudah disalahkan. IPM Provinsi Papua dan Papua Barat, misalnya, termasuk yang terendah di Indonesia. Sementara itu, Papua dan Papua Barat memiliki sumber daya alam yang besar dengan jumlah penduduk sedikit. Jakarta dengan mudah menyatakan kepada publik bahwa tidak tercapainya peningkatan kesejahteraan rakyat Papua berasal dari ketidakmampuan daerah. Apa benar demikian? Selama pusat masih menyimpan persoalan yang amat mendasar ini, Indonesia akan sulit mengembangkan diri dengan baik. Tanpa daerah yang kuat dan sejahtera, cita-cita pencapaian negara kesejahteraan akan menjadi mimpi semata.?