Reshuffle kembali menggelinding, di tengah turunnya secara drastis legitimasi Pemerintahan SBY-Boediono. Para menteri di Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) Jilid II memberi andil terhadap “krisis legitimasi” sekarang. Kerja keras dan stabilitas pemerintahan yang sudah berhasil diletakkan dasar-dasarnya dalam era Megawati Soekarno Putri dan KIB I, ketika dipimpin SBY-JK, ternyata mengalami deklinasi. Bukan hanya terkait dengan masalah korupsi, melainkan dan lebih-lebih munculnya benih-benih konflik sosial secara horizontal di beberapa daerah.
Persoalan lain, isu reshuffle juga disusupi oleh politisasi yang tak perlu. Seolah, partai-partai politik yang berada di dalam pemerintahan-lah yang tidak bekerja secara maksimal. Bukankah Kabinet Gotong Royong era Megawati dan KIB I juga dihuni sejumlah politisi (berasal dari partai)? Kabinet Gotong Royong dan KIB I ternyata mampu mempertahankan stabilitas ekonomi menjelang pemilu 2004 dan pemilu 2009. Kalau politisi menjadi “tertuduh” dalam krisis legitimasi sekarang, bisa saja mereka digantikan oleh kalangan profesional yang lebih “independen”.
Yang patut diingat, menteri-menteri di kabinet adalah pembantu presiden. Konstitusi sudah memberikan batasan ini secara jelas. Secara teori, Indonesia tidak menganut sistem (pemerintahan) parlementer, melainkan sistem (pemerintahan) presidensial. Sistem parlementer pernah diterapkan pada awal kemerdekaan sampai tahun 1959, tetapi berdasarkan UUD 1945 yang memberikan peran kepada Komite Nasional Indonesia Pusat. Selain itu, sejak tahun 1950, kita mengenal UUD Sementara 1950 yang memang mencantumkan sistem (pemerintahan) parlementer. Sejak kembali ke UUD 1945 pada 5 Juli 1959, sistem (pemerintahan) parlementer digantikan dengan sistem (pemerintahan) presidensial.
Bukan hanya itu, menteri adalah jabatan politik. Dalam pengertian paling dasar, para menteri disebut juga sebagai politisi. Profesional bekerja dalam sistem yang jelas dengan target yang terukur. Sementara menteri harus mempertimbangkan banyak hal, termasuk dan terutama sekali keputusan-keputusan presiden dan pertimbangan-pertimbangan DPR. Apabila menteri sama sekali mengabaikan atau gagal berkomunikasi dengan DPR, maka menteri tersebut akan mengalami kesulitan untuk mengambil keputusan berdasarkan kewenangannya.
Kepemimpinan
Mengingatkan kembali soal sistem ketatanegaraan itu penting. Indonesia adalah negara yang dibangun berdasarkan konstitusi. Reshuffle tidak bisa diletakkan dalam konteks politik kontemporer semata, melainkan berada pada bingkai konstitusi yang tepat. Karena itulah, Presiden menjadi kunci dari seluruh persoalan menyangkut reshuffle, sekaligus juga mengenai kinerja kabinet. Faktor inilah yang disebut sebagai kepemimpinan (leadership). Tanpa kepemimpinan, kabinet hanyalah sekumpulan orang yang bekerja secara sendiri-sendiri di tengah belantara perundang-undangan yang begitu tebal. Menteri-menteri akan dikerumuni oleh kepentingan-kepentingan parsial, termasuk dalam hubungan kerjanya dengan DPR RI.
Sehingga, dalam hal ini, penting kembali diingatkan tentang Visi Misi yang diserahkan oleh SBY-Boediono kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai kontrak politik yang dipegang. Di dalam visi-misi itulah terletak semangat atau aura kepemimpinan yang hendak ditempuh, sekaligus program-program (umum) yang hendak dicapai. Begitu pula sejumlah debat yang dilakukan KPU dan ditonton jutaan rakyat Indonesia. Esensi dari perdebatan itu bukanlah siapa yang menang atau kalah dalam debat, melainkan program apa yang ditawarkan sehingga menyebabkan rakyat menjatuhkan pilihan.
Karena itu, akan sulit dipahamai apabila reshuffle hanya sebatas dugaan persoalan-persoalan hukum dan etika yang dihadapi para menteri. Hukum dengan sendirinya akan bekerja, apabila memang terjadi penyelewengan tanggung-jawab. Karena Indonesia adalah negara hukum (rechstaat) dan bukan negara kekuasaan (machstaat), maka apapun isu yang beredar menyangkut kasus-kasus yang terkait dengan menteri, hanya patut diselesaikan dengan proses peradilan. Presiden tidak perlu terombang-ambing oleh bahkan anjloknya persepsi publik terhadap para menteri, apabila memang kinerja menteri-menteri tersebut sesuai dengan paramater yang sudah disusun.
Sekalipun para menteri diikat kontrak politik dengan Presiden dan Wakil Presiden, kontrak itu bukan kontrak politik yang bisa dijadikan dasar. Sifat kontrak itu subjektif, karena publik sama sekali tidak mengetahui isinya. Kontrak itu hanya bisa dinilai sebagai bentuk loyalitas para menteri kepada presiden dan wakil presiden terpilih, demi tujuan-tujuan bernegara. Jumlah menteri yang banyak dan agenda presiden dan wakil presiden yang padat, tentu menjadikan para menteri harus seiring-sejalan dengan presiden dan wakil presiden. Apalagi kemajuan teknologi informasi sekarang bukan menjadi penghalang bagi terbatasnya jadwal rapat para menteri dengan presiden dan wakil presiden.
Kontestasi
Lalu, untuk apa reshuffle kali ini? Kepentingan terbesar dalam reshuffle adalah semakin dekatnya penyelenggaraan pemerintahan kepada tujuan bernegara. Tujuan itu secara umum dikenal sebagainegara kesejahteraan (welfare state). Akan sangat sumir apabila tujuan itu dipreteli untuk kepentingan bagi-bagi kekuasaan. Pola pembagian kekuasaan yang konstitusional dan teoritis itu ada dalam tias politika, yakni eksekutif, legislatif dan yudikatif. Kalau eksekutif dibagi-bagi lagi, maka yang terjadi adalah pelemahan secara perlahan terhadap kinerja eksekutif.
Yang harus dihindari dalam reshuffle sekarang adalah kepentingan pemilu 2014 yang dimundurkan ke tahun 2011. Kalau kepentingan itu masuk, partai-partai politik dan pelaku-pelakunya akan mendapatkan stigma negatif terus-menerus. Rakyat sudah memiliki kesabaran dalam menentukan partai mana yang menang pemilu, partai mana yang kalah. Seyogianya kesabaran itu dibalas oleh penyelenggara pemerintahan dengan cara bekerja secara maksimal, tanpa harus mengaitkan dengan pemilu 2014. Dengan kebebasan informasi sekarang, rakyat dengan mudah bisa menilai mana kelompok yang bekerja, mana yang hanya berwacana semata.
Kalaupun terjadi upaya untuk kontestasi figur-figur yang hendak ditonjolkan demi kaderisasi kepemimpinan nasional, sebetulnya tidak ada masalah. Kontestasi seperti itulah yang sebetulnya menjadi kunci bagi “politik” lembaga kepresidenan. Resiko-resikonya tentu ada, yakni apabila sosok-sosok yang dipilih sama sekali tidak bisa bekerja secara maksimal. Jangan sampai pemilu 2014 (terutama Pilpres) kembali memunculkan kemendadakan, yakni tiba-tiba saja figur-figur tertentu maju, tanpa melewati proses politik yang memadai. Tanpa harus memberikan keterangan perspun, pilihan-pilihan politik yang dilakukan Presiden SBY kali ini akan bisa dianalisis mengarah kepada kontestasi itu.
Presiden SBY sebetulnya memiliki ruang akrobatik politik yang baik, di tengah terpuruknya wajah kabinet. Apalagi, sosok-sosok yang berkualitas bisa diambil dari lembaga negara manapun, kampus apapun, bahkan negara manapun. Tugas presiden justru mencari bakat-bakat pemimpin di dalam kementerian itu, baik melalui pendekatan personal maupun mengirimkan para kurir ke banyak tempat. Sosok-sosok yang bekerja di pelbagai kampus di luar negeri, perusahaan ataupun organisasi internasional, bisa saja menjadi pilihan yang mengejutkan, sekaligus menyejukkan.
Penulis percaya bahwa presiden memiliki visi yang jauh lebih besar lagi guna menjawab tantangan krisis dalam tubuh kabinet. Memberikan presiden kesempatan untuk berpikir dan mencari figur-figur terbaik, adalah fatsun politik yang mestinya juga dipegang politisi dan aktivis manapun. Selamat bekerja.