Pasca libur Lebaran, kota-kota besar di negeri ini, terutama Jakarta, kembali dibanjiri para pendatang baru. Sebuah lagu lama terkait penanganan urbanisasi yang tidak pernah tuntas pun membahana. “Gula” selalu saja menjadi penggoda dahsyat yang mengundang serbuan “semut”. Arus mudik kerap diiringi arus balik dengan volume yang jauh lebih besar.
“Gula” itu adalah infrastruktur kota yang terus melesat meninggalkan keterbelakangan desa-desa dan daerah-daerah tertinggal. Selama desa tidak lagi menjanjikan karena minim infrastruktur, maka kota selalu menjadi pilihan rakyat jelata untuk mengadu peruntungan.
Solusi yang tepat untuk mengatasi masalah ini adalah pemerataan pembangunan. Karena itu, pemerintah jangan setengah hati menggeber program infrastruktur untuk rakyat. Pemerintah harus terus menaikkan anggaran infrastruktur sebagaimana India. Tak jadi masalah defisit anggaran meningkat terhadap produk domestik bruto, asal untuk pembangunan infrastruktur. India juga memperpanjang pembebasan pajak untuk pembangunan infrastruktur. Saat ini tarif pajak badan di India sebesar 30 persen. Pemerintah setempat sejak beberapa tahun lalu menerapkan kebijakan tax holiday.
Sebagai gambaran, dalam indeks daya saing yang dirilis World Economic Forum, RI menempati peringkat ke-82 dari 183 negara. Khusus infrastruktur jalan, kita menempati peringkat ke-84, sementara dalam hal ketersediaan listrik berada di urutan ke-97.
Perlu diingat, kegagalan bangsa kita pada masa lalu disebabkan terabaikannya pembangunan pedesaan. Karena tak ada kemauan politik (political will) pemerintah, maka dampak angka urbanisasi terus meningkat. Desa pun kehilangan sumber daya manusia (SDM) baik untuk mendorong kemajuan maupun untuk meningkatkan kesejahteraan.
Pembangunan nasional sendiri makin memperbesar jurang antara perkotaan dan pedesaan. Sebab, saat ini Indonesia lebih mengonsentrasikan pembangunan di sektor industri yang membutuhkan investasi mahal untuk mengejar ketertinggalan pertumbuhan dari negara lain. Akibatnya, pembangunan pedesaan seperti terabaikan. Kondisi itu justru menciptakan jurang keterbatasan SDM, modal, dan kebijakan antara desa dan kota. Padahal, jika digali lebih dalam, SDM serta peluang maju juga bisa dilakukan dari desa.
Memang, banyak program atau proyek yang dilaksanakan pemerintah pusat. Namun, mayoritas hanya berupa pemberian bantuan fisik kepada masyarakat tanpa disertai ketepatan kebutuhan serta keterampilan yang mendukung. Dengan demikian, kelanjutannya tak pernah berjalan sesuai harapan.
Ini masih diperparah dengan tidak adanya pengawasan pihak terkait secara berkala. Akibatnya, selain menghamburkan dana, hal itu juga tidak mendidik masyarakat untuk ikut berpartisipasi aktif melaksanakan program pembangunan infrastruktur pedesaan.
Kondisi itulah yang melatarbelakangi para wakil rakyat di DPR, Jakarta, menggagas perjuangan dana aspirasi, dana pembangunan infrastruktur berbasis daerah pemilihan (dapil), serta dana pembangunan Rp 100 miliar per desa maupun beragam program prorakyat lainnya.
Melalui Komisi V DPR yang membidangi perhubungan dan infrastruktur, DPR mendorong agar pemerintah pusat mereorganisasi lembaga yang mengurusi pembangunan infrastruktur. Agar lebih efektif dan efisien serta tepat sasaran sesuai kebutuhan desa, peran lebih besar perlu diberikan kepada pemerintah daerah sesuai semangat otonomi daerah dalam mempercepat pembangunan infrastruktur pedesaan. []
Anggota Komisi V DPR, Wasekjen DPP Partai Golkar