Minderheit nota (catatan keberatan) yang disampaikan oleh Fraksi Partai Golkar DPR ketika membahas subsidi bahan bakar minyak (BBM), dalam pembahasan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2012 lalu, tampaknya luput dari pemberitaan media. Bahkan, pemerintah sekalipun belum terlihat mengambil langkah-langkah strategis terkait kebijakan subsidi BBM tersebut. Padahal jika dievaluasi lebih mendalam, persoalan subsidi BBM laksana bom waktu yang siap meledak kapan saja.
Melihat peningkatan penggunaan subsidi BBM, hingga akhir 2011 mencapai angka di atas 41 juta kiloliter. Ini melampaui asumsi APBN Perubahan 2011 yang ditetapkan sebesar 40,49 juta kiloliter.
Berdasarkan catatan Kementerian Keuangan, realisasi pencairan anggaran subsidi energi per 7 November 2011 mencapai Rp 164,74 triliun atau 84,4 persen dari pagu Rp 195,28 triliun. Realisasi itu ini melambung hampir dua kali lipat dari periode yang sama tahun lalu yang tercatat hanya sebesar Rp 89,62 triliun atau 62,2 persen dari pagunya.
Khusus belanja subsidi BBM, sudah terserap sebesar Rp 110,82 triliun atau 85,5 persen dari pagu anggaran sebesar Rp 129,72 triliun. Konsekuensi yang harus ditanggung oleh pemerintah adalah membengkaknya dana yang dikeluarkan untuk menutup subsidi BBM itu. Besarannya diperkirakan akan mencapai di atas angka yang sudah ditetapkan dalam APBNP 2011 yaitu Rp 129 triliun.
Dengan pergerakan angka subsidi yang cenderung tidak terkontrol pada tahun 2011 tersebut, sudah seharusnya pemerintah memiliki action plan yang jelas, terarah, dan terukur, dalam rangka menata sistem dan mengelola industri perminyakan nasional. Harus ada kebijakan energi yang jelas, yang harus ditempuh pemerintah agar keberlanjutan pembangunan ini bisa terus berjalan.
Salah satu yang menjadi fokus pembahasan adalah usulan kebijakan subsidi BBM dan listrik dalam RAPBN 2012. Berdasarkan APBN 2012, asumsi harga ICP dalam APBN 2012 mencapai 90 dolar AS per barel. Setiap terjadi kenaikan harga ICP sebesar 1 dolar AS, defisit diperkirakan membengkak Rp 430 miliar hingga Rp 530 miliar. Dalam APBN 2012, subsidi energi ditetapkan Rp 168,559 triliun. Subsidi BBM dan elpiji 3 kilogram ditetapkan Rp 123,559 triliun.
Sebagian besar dari keseluruhan alokasi anggaran belanja subsidi itu direncanakan akan disalurkan untuk subsidi energi sebesar 80,7 persen, di mana subsidi BBM sebesar Rp 123.6 triliun atau mengalami penurunan dari APBN-P 2011 sebesar Rp 129,7 triliun. Kemudian, subsidi listrik Rp 44,9 triliun atau mengalami penurunan dari APBN-P 2011 sebesar Rp 65,5 triliun. Sisanya 19,3 persen digunakan untuk belanja subsidi nonenergi.
Sekilas usulan kebijakan subsidi energi dalam RAPBN 2012 sangat responsif terhadap kondisi perekonomian global dan keterbatasan keuangan negara. Tampaknya pemerintah ingin mempertahankan kebijakan harga BBM yang sekarang berlaku dan memberlakukan kenaikan tarif tenaga listrik (TTL) selain golongan 450 VA.
Akan tetapi, jika kita kaji lebih mendalam, kebijakan subsidi energi yang diusulkan pemerintah tidak memperhatikan realita yang berkembang di lapangan, khususnya dari sisi distribusi dan penerima subsidi BBM. Sebagai lembaga yang juga mengawasi setiap kebijakan pemerintah, anggota Badan Anggaran DPR menemukan data dan fakta di lapangan yang sangat tidak berpihak bagi kepentingan masyarakat secara khusus dan efisiensi ekonomi secara umum. []
Wakil Sekretaris Jenderal DPP Partai Golkar, Anggota Komisi V DPR