Rupiah terus bergerak ke teritori positif. Pada penutupan Jumat kemarin (24/7), rupiah menembus level psikologis 10.000 per USD.
Data kurs tengah Bank Indonesia (BI) menunjukkan, rupiah pada Jumat kemarin ditutup di level 9.995 per USD, atau menguat 68 poin (0,675 persen) dari penutupan Kamis (23/7) yang masih di level 10.063 per USD. Jika dibandingkan penutupan Jumat pekan lalu (17/7), rupiah menguat signifikan sebesar 185 poin (1,817 persen) dari level 10.180 per USD.
Sementara itu, data transaksi perdagangan Bloomberg pada pukul 16.00 WIB kemarin menunjukkan, penguatan nilai tukar rupiah lebih signifikan hingga ke level 9.990 per USD, atau menguat 45 poin dari perdagangan Jumat pagi yang dibuka di level 10.035 per dolar AS.
Pengamat Pasar Uang Farial Anwar mengatakan, penguatan nilai tukar rupiah ditopang oleh banyak faktor. Diantaranya, stabilitas perekonomian Indonesia serta dampak bom yang sudah memudar. ''Selain itu, hot money (dana asing) terus masuk ke Indonesia,'' ujarnya kemarin (24/7).
Menurut Farial, masuknya hot money dalam jumlah signifikan terlihat dari terus menguatnya pasar modal. Pada penutupan perdagangan kemarin, indeks harga saham gabungan (IHSG) ditutup di level 2.185,65. Ini merupakan level tertinggi sejak Agustus 2008. Pemodal asing tercatat melakukan pembelian saham hingga Rp 780,52 miliar, sedangkan penjualan mencapai Rp 456,91 miliar. ''Pasar modal Indonesia masih sangat menarik bagi investor spekulatif,'' katanya.
Selain itu, lanjut dia, pasar surat utang atau obligasi juga menjadi incaran para investor asing yang membuat hot money makin banyak masuk ke Indonesia. ''Logikanya, jika mereka membeli saham atau obligasi, maka mereka akan menjual dolarnya dan membeli rupiah. Ini yang mendorong penguatan rupiah,'' terangnya.
Farial mengatakan, dengan berbagai indikator perekonomian saat ini, rupiah berpotensi terus menguat hingga ke kisaran 9.300 - 9.600 per USD yang merupakan level rata-rata nilai tukar rupiah pada 2008. ''Level itu sangat sehat. Karena itu, BI harus berupaya agar rupiah tetap ada di bawah 10.000 per USD dan mengarahkannya ke level 9.300 hingga 9.600 per USD,'' jelasnya.
Menurut Farial, adanya anggapan bahwa penguatan signifikan rupiah bisa menghantam kinerja ekspor sangat tidak beralasan. ''Bagi eksporter memang iya, tapi jika dicermati, kontribusi ekspor terhadap pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan relatif kecil,'' ujarnya.
Apalagi, lanjut dia, struktur pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih banyak ditopang oleh konsumsi dalam negeri. Dengan demikian, menguatnya nilai tukar rupiah akan mendorong konsumsi lebih besar dan akhirnya mendorong perekonomian secara keseluruhan. (jwpos)
Silahkan posting komentar Anda