Gagalnya penyelesaian pembahasan Rancangan Undang-Undang Keistimewaan (RUUK) DIY menyisakan kekecewaan mendalam bagi Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X.
Kekecewaan ini sangat dirasakan mengingat yang menginginkan penetapan posisi gubernur bukan dia selaku pribadi tapi masyarakat Yogyakarta secara umum. Meski kecewa, lanjut Sultan, dia tidak bisa melakukan apa-apa. Dia memasrahkan nasib keistimewaan Yogyakarta ini kepada pengurusan DPR periode 2009-2014. Sultan meminta warga tetap bersatu dan menghindari tindakan kekerasan.
"Meski menghadapi ketidakpastian hendaknya disikapi dengan fokus terhadap persoalan yang dihadapi, tetap semangat tanpa harus bertindak kasar, percaya diri dengan rendah hati, menjaga komitmen dan konsekuen terhadap apa pun keputusan yang disepakati bersama," ujar Sultan dalam sambutan peringatan Tumbuk Ageng (Delapan Windu) Amanat 5 September 1945 atau masuknya Keraton Yogyakarta dan Pura Pakualaman dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) di KeratonYogyakarta,tadi malam.
Dalam kesempatan ini, Sultan meminta warga Yogyakarta mampu menangkap pesan Sri Sultan Hamengku Buwono I yang menjiwai Beksan Lawung Ageng yang tertuang dalam sawiji, greget, ora mingkuh. Sultan mengatakan,dalam kosmologi Jawa,Tumbuk Ageng bermakna satu siklus kehidupan delapan windu yang akhirnya bermuara pada khitah kelahirannya.
"Jika dikaitkan dengan peringatan yang berlangsung di bulan Syawal, kita seakan dipesankan agar mengingat kembali fitrah amanat itu ketika diundangkan pada 5 September 1945," katanya. Bulan Syawal,kata Sultan,adalah momentum yang tepat untuk instrospeksi diri kembali ke fitrah, dan dengan ini para pemegang amanah rakyat diharapkan dapat menjaga keistimewaan Yogyakarta dari ancaman 'perang' yang lebih besar,yakni perang nafsu.
Kepada wartawan siang kemarin, Sultan juga mengakui sikap pemerintah bertentangan dengan keinginan sebagian besar masyarakat DIY. “Betul itu (masyarakat DIY minta penetapan).Tapi faktanya pemerintah tetap tidak sependapat dan mengabulkan tuntutan itu. Pemerintah tetap minta pemilihan biarpun semua fraski kecuali satu (Fraksi Demokrat) minta penetapan,” katanya kepada wartawan,kemarin.
Meski kecewa,lanjut Sultan,dia tidak bisa melakukan apa-apa. Dia memasrahkan nasib keistimewaan Yogyakarta ini kepada pengurusan DPR periode 2009-2014.Raja Keraton Yogyakarta ini hanya bisa berharap, pembahasan RUUK oleh wakil rakyat baru tidak dimulai dari nol.Walaupun, untuk soal ini, dia juga belum yakin. Mengingat tata tertib DPR periode berikutnya belum jelas seperti apa.
“Saya tidak tahu, apakah yang dimaksud keputusan (dalam rapat DPR dan eksekutif) itu tidak ada kesepakatan untuk dilanjutkan (pembahasan RUUK) atau pemerintah harus mengajukan draf awal lagi,”terangnya. Secara aturan normatif, lanjut Sultan, untuk bisa membahas sebuah rancangan undang undang, anggota Dewan periode baru perlu ada kesepakatan di tingkat badan musyawarah (bamus).
Dalam bamus nanti akan disusun prioritas pembahasan undang undang. Artinya, bila RUUK menjadi prioritas nomor satu, tentu ada keyakinan regulasi ini tidak berlarutlarut. Tapi bila tidak, sudah pasti aturan keistimewaan akan berbuntut panjang.“Tergantung DPR. Kita lihat saja perkembangannya setelah pelantikan,” tandas raja bernama asli Bandoro Raden Mas (BRM) Herdjuno Darpito itu.
Menyoal ancaman dari sejumlah elemen masyarakat DIY yang akan turun ke jalan atas kegagalan pembahasan ini,Sultan tidak mempersoalkannya. Bahkan dia mempersilakan aksi demonstrasi ini dilangsungkan. Dia hanya mengingatkan agar dalam setiap aksi demo baik di Yogyakarta maupun di Jakarta tidak sampai berujung anarkis. Soal wacana Pisowanan Agung, dia tidak bersedia berkomentar karena khawatir menimbulkan persepsi beragam.
“Masalah kabupaten ataupun kota yang berniat memfasilitasi aksi turun ke jalan. Saya juga tidak mau komentar masalah itu,”urainya. Bila dalam perjalanannya nanti, RUUK tetap tidak diselesaikan hingga akhir masa tugas,lanjut Sultan, secara otomatis dia tidak akan mencalonkan kembali.Tidak bersedianya mencalonkan diri kembali sebagai gubernur, kata dia, bukan karena tidak mau tapi lebih karena tidak ada payung hukum.
Sesuai aturan perundangan jabatan kepala daerah hanya dibatasi selama dua periode.“Presiden pun dibatasi dua kali.Tapiberbedapersoalan,jikaundang undang keistimewaan memungkinkan hal itu,berarti saya maju karena tunduk pada aturan,” jelasnya. Seperti diketahui, pemerintah dan DPR gagal menyelesaikan pembahasan RUUK DIY.
Rapat konsultasi terakhir pemerintah dengan DPR tidak menemukan kesepakatan terkait poin mekanisme pengisian jabatan Gubernur DIY. Kegagalan ini semakin membuat DIY dalam ketidakpastian. Apalagi, draf RUUK DIY sebenarnya bukan pokok bahasan baru, tapi sudah muncul sejak 2000 lalu. Bupati Bantul Idham Samawi menyatakan siap memberikan fasilitas bagi masyarakat khususnya warga Bantul yang ingin turun ke jalan untuk menggelar aksi demontrasi.
Pemberian fasilitas ini, menurut dia, merupakan kewajiban pemerintahannya, mengingat sebagian besar warga menginginkan adanya penetapan gubernur.“Saya sudah keliling di 75 desa dan 933 dusun.Hasilnya masyarakat menghendaki penetapan.Memang tidak 100%, tapi diyakini lebih dari 80%,”urainya.
Dia berpandangan, penolakan pemerintah untuk menetapkan Sultan sebagai gubernur karena ada beda pemahaman.Pemerintah menganggap penetapan ini akan menghilangkan demokrasi. Padahal, demokrasi tidak harus melalui pemilihan. Jika masyarakat memang menginginkan adanya penetapan hal itu juga sebuah demokrasi. “Kami akan terus berjuang untuk merealisasikan keinginan rakyatYogya,”tandasnya. (sindo)
Silahkan posting komentar Anda