Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X meminta para civitas akademis di perguruan tinggi bersedia melakukan kajian mendalam terhadap sejarah batik di Indonesia.
Salah satu kajian yang diperlukan adalah seluk beluk batik dari awal mulanya hingga munculnya beragam motif sekarang ini. Menurut Sultan penelusuran terhadap sejarah batik di Indonesia ini diperlukan karena merupakan bentuk tanggungjawab secara ilmiah dan bukti otentik atas ragam budaya negeri ini. Selama ini, kata dia, seluk beluk dari perbatikan di Indonesia hanya diwariskan melalui mulut ke mulut. Hal ini tentu saja tidak bisa dijadikan dasar pembuktian bila suatu saat nanti ada pihak-pihak lain yang mengklaim kepemilikannya.
“Semestinya ada catatan akademis mengenai batik,mulai dari penelusuran sejarah awal mulanya, bagaimana asal-usul motifnya serta apa maknanya,”terangnya saat meresmikan galeri batik Rotingen di Kotagede, DIY, kemarin. Terhadap persoalan batik ini, lanjut Sultan, dirinya pernah memperoleh matrik hasil dari penelitian Institute Teknologi Bandung (ITB). Isinya, batik yang ada di negeri ini mulai dari Sumatera hingga Papua mempunyai motif yang hampir sama.Yang berbeda hanyalah nama batik itu sendiri. Kondisi ini membuat lembaga internasional seperti UNESCO sulit memahami asal usulnya.
Dia mencontohkan, ketika UNESCO mengunjungi perajin batik di Gunungkidul. Dalam kunjungan tersebut, UNESCO mendapati beberapa motif batik yang menggunakan kata Gajah, seperti Gajah Irowo, Gajah Oling dan lain sebagainya. Padahal di Gunungkidul tidak ada Gajah, mengingat keberadaan Gajah hanya ada di Sumatera. “Nah, dari pengamatan saya, di Gunungkidul memang banyak Gajah pada 500 ribu tahun yang lalu, tepatnya sebelum agama masuk ke Jawa. Sejak saat itu pula motif batik mulai digagas,namun hanya mulut ke mulut saja, tidak ada bukti tertulisnya,”tambahnya.
Ketua Paguyuban pencinta batik Sekar Jagad, Larasati Setyantoro Sulaiman, mengatakan, hak paten atas batik sebenarnya akan dianugerahkan UNESCO beberapa tahun lalu. Sayangnya, hal itu batal dilakukan karena pemerintah sendiri belum pro aktif terhadap persoalan ini. “Mulai tahun ini, saatnya kita nguri-uri batik seperti apa yang telah disampaikan Ngarsa Dalem Sultan HB X tadi. Selain butuh catatan akademis,kita juga harus cinta batik, melestarikannya, serta terus belajar membudidayakannya, khususnya untuk batik tulis,”harapnya.
Terkait pelestarian batik tersebut, Larasari sebelumnya juga mengatakan bahwa pihaknya melalui Paguyuban Pecinta Batik Indonesia (PPBI) telah mendesak pemerintah untuk membatasi produksi tekstil motif batik atau biasa dikenal batik printing. Pemerintah juga harus ikut berperan aktif dalam proses regenerasi perajin batik tradisional. “Pembatasan batik printing harus dilakukan oleh pemerintah pusat. Itu bukan batik,” kata Larasati Suliantoro Sulaiman yang juga Ketua Umum PPBI saat pencanangan monumen batik bertema ‘The Magnificent of Batik’ di kawasan Nol Kilometer Yogyakarta 2 Oktober lalu.
Pengukuhan batik sebagai warisan budaya dunia bukan benda (intangible cultural heritage) oleh organisasi PBB bidang pendidikan, ilmu pengetahuan dan budaya, UNESCO,menurut Larasati, merupakan bentuk pengakuan dunia akan keagungan batik. Seharusnya,pengakuan itu dijadikan tantangan bagi bangsa Indonesia untuk melestarikannya. “Batik harus terus dikenalkan kepada masyarakat. Sebagian besar masyarakat belum mengetahuinya,” kata Larasati. Batik Indonesia, terutama dari Jawa itu memiliki filofofi manunggaling kawulo ing gusti.
Artinya busana yang dipakai oleh gusti (raja) dan juga rakyat. Pemerintah, lanjut perempuan berusia 74 tahun ini, juga harus ikut melakukan proses regenerasi perajin batik tradisional, terutama tulis. Karena industri batik tradisional banyak yang tutup dan memilih alih profesi ke bidang lain. “Regenerasi harus dilakukan,”katanya. Pemilik Yayasan Museum Batik Yogyakarta Dewi Sukaningsih menambahkan, merebaknya batik printing atau tekstil motif batik di pasaran karena harganya sangat terjangkau oleh masyarakat.
Berbeda dengan batik tulis atau cap yang masih tergolong mahal. “Yang bisa dilakukan adalah harga bahan baku batik seperti kain mori jangan terlalu mahal,” katanya. (sindo)
Silahkan posting komentar Anda