Media

 
Membangun Daerah Perbatasan
Ditulis oleh Indra J Pilliang 14. Februari 2012 - 14:50

Kalimantan Barat (Kalbar) merupakan provinsi yang langsung berbatasan dengan Kerajaan Malaysia. Kedudukan secara geografis ini tentu menghasilkan kesimpulan sederhana, betapa Kalbar jauh lebih dekat dengan Malaysia dibandingkan dengan Indonesia (Jakarta). Kalbar adalah halaman depan dari wajah Indonesia yang berhadap-hadapan langsung dengan Malaysia.

Karena itu, tidak mengherankan apabila pemerintah pusat sering tertarik dengan Kalbar ketika isu-isu perbatasan muncul, termasuk kehadiran perusahaan-perusahaan pertambangan dan perkebunan yang investornya berasal dari Malaysia.

Pemerintah pusat seolah tidak tertarik membangun perbatasan. Nasionalisme di perbatasan hanya sebatas nasionalisme yang terkait kebutuhan barang dan jasa. Artinya, terkait dengan ekonomi. Nasionalisme ekonomi ini tentu tidak menuntut penyamaan kesejahteraan antarnegara, tetapi lebih berupa kemudahan dalam melakukan aktivitas ekonomi dengan pembangunan infrastruktur sampai kemudahan dalam perizinan. Kalau nasionalisme ekonomi dihadirkan dalam keadaan perut lapar, lama-kelamaan yang muncul adalah pengikisan terhadap apa yang disebut sebagai "komunitas yang terbayangkan" seperti bangsa.

Pemerintah pusat lupa menyebarkan investasi di luar tanah Jawa, terlebih khusus lagi di luar Jakarta. Kesenjangan pembangunan selama ini menyebabkan hanya Jawa yang dikejar sebagai tujuan investasi, termasuk sedikit di Papua dan Kalimantan. Kalbar, sebagai daerah yang memiliki sumber daya alam, sumber daya budaya, dan sumber daya manusia yang majemuk, seakan tak dilirik sebagai model pertumbuhan baru.

Pemerintah pusat terlalu disibukkan dengan masalah-masalah sederhana yang terkait dengan kelebihan uang sehingga memicu informasi yang negatif, misalnya korupsi atau pembangunan ruangan Badan Anggaran (Banggar DPR). Bahkan, daya serap anggaran di pemerintah pusat sedikit, sehingga anggaran sisa mencapai 10-30 persen per tahun.

Apa salahnya Kalbar? Barangkali karena kekurangan demi kekurangan dibandingkan dengan Jawa. Tetapi, bukannya Jawa juga mengandung kekurangan, terutama dalam keterbatasan lahan? Jumlah penduduk di Jawa juga makin besar. Dalam pemilu saja, 65 persen pemilih berasal dari pulau Jawa. Sekalipun Jawa dihuni oleh beragam etnis, tetap saja dari sisi penyebaran penduduk terasa timpang. Hal ini tidak terlepas dari kesenjangan lain, terutama kesenjangan di bidang pembangunan kebutuhan dasar penduduk antara Jawa dan luar Jawa. Besarnya jumlah penduduk juga berarti mendesak bagi pengalihfungsian lahan-lahan pertanian menjadi lahan-lahan pemukiman.

Mumpung Kalbar masih memiliki banyak lahan kosong, penyusunan blue-print pembangunan menjadi lebih mudah. Apalagi bagi Partai Golkar yang sudah menyusun blue-print Indonesia 2045 akan makin baik apabila melalui pendekatan kewilayahan. Sekalipun masuk sebagai kesatuan geopolitik dan geostrategis, Kalbar khususnya dan Kalimantan umumnya perlu model-model khusus untuk tetap menjaga pertumbuhan ekonomi di Jawa, sekaligus juga memastikan jalur distribusi barang dan jasa tidak lagi tergantung kepada luar negeri.

Pemerintah pusat melalui Badan Perencanaan Pembangunan Nasional dan kementerian terkait sebetulnya sudah menyusun kawasan-kawasan ekonomi khusus. Hanya saja dukungan kurang terasa, terutama akibat perbedaan visi dan misi masing-masing menteri dan kepala daerah. Karena itu, partai dituntut menyusun program yang lebih komprehensif, sehingga mendapatkan dukungan luas dari seluruh stakeholders pembangunan.