Blog aswin

 
Sebuah Catatan Kecil tentang China Dari Perjalanan di Guangzhou, Shenzhen dan Sanya tentang Sebuah Ideologi
7. Juni 2011 - 8:58 | by Aswin Windarto

Menjejakan kaki di Guangzhou, P.R.C akan mengingatkan terhadap dua tokoh kharismatik yang pernah menjalankan fase kehidupannya disini. Keduanya pernah bertemu disini. Tokoh tersebut adalah Dr. Sun Yat Sen, sang republikan yang memproklamirkan Republik China Selatan. Seorang lainnya adalah seorang ideologis, ahli revolusi dan lincah dalam berorganisasi, yaitu Tan Malaka dari Indonesia. Kanton dahulunya atau sekarang bernama Quangdong dengan pusat kota Guangzhou menjadi salah satu persinggahan perjalanan Tan Malaka dalam pembuangannya oleh pemerintah Hindia Belanda saat itu. Sosok pengarang buku Madilog (Materialisme, Dialektika dan Dialog) ini begitu menonjol paham nasionalismenya kalau tidak mau disebut ideologi dalam praktek perjuangan untuk memerdekakan rakyat Hindia Belanda atau Indonesia. Ia tidak sepaham dengan Stalin dalam perjuangan melawan imperialisme biarpun Ia adalah seorang komunis, seperti kata Tan Malaka,”Dihadapan Tuhan saya sorang muslim, ketika berhubungan dengan manusia saya adalah komunis”. Bahkan Ia berpendapat bahwa pada rakyat akan mempunyai batasan wilayah dan tanah airnya sendiri, bersimpangan dengan internasionale sebagai manifesto ideologi Marxis itu sendiri. Tan Malakalah yang memimpikan untuk pertamakali bentuk republik bagi Indonesia.

Dalam isi buku The World Is Flat karya Thomas L. Friedman, disebutkan jika India dengan komoditi orangnya yang mendominasi sektor teknogi informasi maka China mempunyai komoditi penduduk yang banyak untuk memproduksi secara massal produk-produk dari Benua Eropa, Amerika dan Jepang. China dengan sistem komunismenya tampak berhasil dalam menciptakan keseimbangan sosial antara kewenangan penuh negara dengan pemenuhan kebutuhan dasar rakyatnya.

Mungkin China secara ideologi masih menerapkan prinsip ideologi komunisme yang dibawa Mao Zedong tetapi itupun mungkin tidak utuh lagi. Dalam penjabarannya negara tirai bambu ini menerapkan sistem ekonomi liberal untuk mengejar produktivitas ekonominya. Negara tetap mengkontrol lingkungan sosial rakyatnya. Sangat menarik melihat sebuah slogan yang tertulis dalam baliho besar pada salah satu sudut di Kota Shenzhen yang berbunyi, “Life is efficiency, Time is money” ataupun kita bisa melihat bangunan-bangunan modern barat yang dibangun untuk tujuan pariwisata seperti hotel di Sanya. Sebuah bangunan masjid cukup besar bisa kita temukan di kota yang terletak di Pulau Hainan ini. Menjadi semakin penegas betapa prinsip liberalisme tentang ekonomi diterapkan dan penghargaan terhadap pluralitas rakyat tetap dijamin oleh negara. Pendek kata bahwa China mengalami kemajuan pembangunan ekonomi yang luar biasa dengan tetap memperhatikan kondisi rakyatnya secara sosial.

Negara-negara sosialis dan komunis yang memperjuangkan ekonomi kerakyatan secara mutlak mungkin banyak bertumbangan, kecuali China mungkin yang bisa bertahan hingga sekarang, seperti halnya Indonesia sendiri yang pernah menerapkan ekonomi kerakyatannya secara mandiri yang diprakarsai oleh Bung Hatta yang dikenal dengan ekonomi Hatta. Hasilnya adalah kegagalan karena memang Indonesia adalah bukan negara sosialis. Perlu dicatat pula bahwa latar belakang ekonomi Indonesia akan mempengaruhi dalam penerapan teori Marxisme yakni bahwa pertama, Indonesia adalah bukan negara industri melainkan negara agraria dimana pertanian, perkebunan, hasil hutan dan perikanan menjadi faktor ekonomi sendiri yang cukup kuat. Kedua, Islam sebagai agama mayoritas. Agama Islam ini dapat menjawab masalah-masalah dalam masyarakat dari ekonomi hingga negara. Tetapi para pendiri republik Indonesia ini telah menyepakati bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah bukan Negara Islam. Ideologi yang dibawapun berdasarkan nilai-nilai yang ada dalam Rakyat Indonesia sendiri.

Diperlukan pemahaman secara mendasar dari masing-masing ideologi tentang sejarah yang melandasi pemikirannya, kondisi masyarakat ketika ideologi tersebut muncul, dan korelasinya dalam kehidupan masa kini. Dalam suatu terbitan surat kabar China berbahasa inggris, dipaparkan tentang pembentukan ideologis partai pada kaum mudanya. Pada setiap universitas dapat dijumpai perwakilan Partai Komunis China (C.P.C) untuk memberikan kesempatan kaum muda bergabung. Seleksi secara kemampuan akademis dan non akademis menjadi faktor dalam penerimaan kader. Jadi tidak dengan mudah untuk bisa masuk menjadi kader partai terbesar di China ini. Kualitas kader untuk dididik dalam ideologi partai begitu diperhatikan. Bukan sekedar kader musiman, kutu loncat, dan kuantitas. Sutan Syahrirpun pernah menjadikan Partai Sosialis Indonesia yang didirikannya adalah partai kader. Sedikit orang didalamnya tetapi cukup militan. Namun ini tidak cukup membuat partai Bung Kecil sebutan Sutan Syahrir ini menjadi partai papan atas pada tahun 1955. Yang ada malah perlahan partai ini tergeser dan semakin redup. Kata kuncinya adalah pendidikan ideologi terhadap kaum muda secara utuh dan benar untuk menumbuhkan kepekaan dan militansi sosial kerakyatan.

Tingkat pertumbuhan ekonomi Negara Indoensia saling bergantung pada kondisi ekonomi dunia. Bisa jadi diperlukan cara pengaturan dan mencari kesimbangan hingga mendapatkan suatu kalimat ekonomi global berbasis kerakyatan sebagai wacana. Kita tidak akan bahas lebih lanjut tinjauan model ekonomi ini.

Perlunya pemahaman terhadap ideologi sebagai bahan konsumsi dan pengayaan pikiran terhadap nilai-nilai kemanusiaan dalam menghadapi berbagai pola pemikiran lokal ataupun internasional. Informasi yang kita terima bisa dari berbagai sumber dan syarat kepentingan didalamnya. Pengetahuan dan pemahaman terhadap pola pemikiran yang masuk akan menghindarkan kebingunan dan bias serta kesalahan dalam penafsiran terhadap ideologi pergerakan politik, ekonomi dan sosial yang terjadi belakangan ini, baik di lingkungan lokal maupun internasional. Friedman benar bahwa dengan akses informasi yang terbuka, kita akan mempunyai kesempatan berpola pemikiran yang sama terhadap suatu kejadian karena kesamaan informasi yang kita tangkap di belahan bumi barat, bisa didapatkan pula di belahan bumi lainnya melalui world wide web dalam hitungan detik.

Friedman mungkin tidak menjelaskan efek dari kesempatan persamaan pemikiran yang akan menjadikan setiap individu manusia akan kehilangan karakter ideologinya. Seperti halnya sebuah kapitalisme maka kesamaan ideologi pemikiran hanya akan melahirkan pihak penguasa dan pihak dikuasai. Bukan sebuah entitas benda mati atau juga atribut simbol pada seseorang yang menjadi batas kelas dalam masyarakat tetapi masyarakat sendirilah yang menentukan entitas-entitas tersebut. Seperti pemikiran Tan Malaka bahwa kelas dalam masyarakat tidaklah ditetapkan, cara pandang masyarakatlah yang membuatnya demikian. Ini yang musti kita pangkas untuk tidak memberikan ruang bagi terciptanya kelas-kelas sosial dalam masyarakat Indonesia.

Ada persamaan ideologi perjuangan pada masa awal-awal kemerdekaan antara China dengan Indonesia tetapi pada akhirnya suara rakyatlah yang berhak menentukan ke arah mana kelanjutan nasibnya dipertaruhkan.